MP3 Clips

Tuesday, December 14, 2010

Industri DN teknologi LTE akan memerlukan waktu 2-3 tahun lagi untuk bisa mandiri, dimana yang lebih cocok buat Indonesia adalah jenis TDD-LTE yang menggunakan pita frekwensi lebih efisien serta tidak memerlukan pasangan pita frekwensi yang berbeda antara kanal transmit dan recive.

Pemerintah memprioritaskan penyusunan regulasi tingkat komponen dalam negeri yang komprehensif untuk menjamin kelangsungan usaha pengguna teknologi long term evolution (LTE).

Gunawan Wibisono, Ketua Tim Kajian Roadmap Kesiapan dan Strategi Pengembangan Industri Dalam Negeri Ditjen Postel Kementerian Komunikasi dan Informatika, mengatakan pihaknya telah merekomendasikan pengaturan yang komprehensif untuk LTE.

“Terkait dengan TKDN [tingkat komponen dalam negeri], kami perkirakan di Indonesia LTE akan terlambat 1—2 tahun agar regulasinya matang dulu di semua aspek, termasuk kesiapan industri dalam negeri. Kami meminta operator [seluler] bersabar sambil mengikuti perkembangan LTE di luar negeri,” ujarnya di sela-sela demo frequency division duplex (FDD) dan time division duplex (TDD) LTE hari ini.

Menurut Gunawan, LTE baru akan matang pada 2 tahun mendatang sehingga operator juga perlu mencermati peluang dengan belajar dari pengalaman pengadopsian 3G sebagai pertimbangan.

Dia mencontohkan ketika 2G digelar, 3G diunggul-unggulkan, tetapi kenyataannya hingga saat ini penggunaan 3G belum optimal.

Pengalaman dari para pengguna 3G saat ini masih mengecewakan, sebab kecepatan transmisi yang di-iklankan tidak terbukti, lelet, dan mengakibatkan para pengguna tidak dapat memperoleh pengalaman berselancar di Internet sesuai kriteria "true Broadband". Akibtanya berbagai hipotesa tentang manfaat Broadband sebagai enabler pertumbuah perekonomian nasional belum menjadi kenyataan, yaitu tiap 10% penerasi Broadband akan menumbuhkan GDP Indonesia sebesar 1,38% atau senilai RP 138 Trilyun per tahun. Karena tidak tercapai, maka ini merupakan potensi kerugian nasional.

Tim roadmap juga menegaskan LTE bukan hanya persoalan di frekuensi mana akan digelar, melainkan juga perlu memperhatikan kelangsungan usaha di teknologi itu sebagai pertimbangan regulasi secara komprehensif.

Heru Sutadi, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), mengatakan terkait dengan TKDN, lokal belum memiliki peran dan kontribusi signifikan di teknologi broadband (pita lebar) nirkabel.

“Kami belum sampai pada kebijakan keberpihakan karena ini satu kesatuan ruang lingkup. Jadi prinsipnya akan ada TKDN yang harus dipenuhi dan ada kontribusi terhadap perkembangan industri dalam negeri dan agar bangsa ini tidak sekadar sebagai bangsa konsumtif,” tegasnya.

Dia menjelaskan di porsi TKDN, peranti LTE variatif dan industri lokal akan didorong untuk berkiprah dalam pengembangan chip, konten atau peranti lainnya meski prosesnya tidak mudah.

Adapun, di sisi operator, kebijakannya tidak jauh berbeda pada penerapan 3G yang mengatur 30% belanja modal dan 40% belanja operasional harus menyerap TKDN.

Heru menambahkan pihaknya masih melanjutkan evaluasi dan penataan frekuensi dengan kemungkinan refarming di frekuensi 900 MHz, 1800 MHz, 700 MHz, 2,3GHz, 2,6 GHz serta frekuensi lainnya terkait dengan digital dividen clear hingga 2018.

“Khususnya di 2,3 GHz mengingat baru satu operator WiMax [16d] yang meluncurkan layanan, kami masih perlu mengkaji apakah akan membuka lebar pita 60 MHz untuk WiMax 16e atau LTE, termasuk kemungkinan membuka lelang lain,” ujarnya. (sumber: bisnis.com jha).

Silahkan ditanggapi.

0 comments:

Post a Comment