MP3 Clips

Thursday, August 4, 2011

Clearwire this week reported its usual subscriber positive and earnings negative quarterly results, and finally made a commitment toward building out LTE. That is, when they get the financing for it of course. The Wimax provider demonstrated both solid revenue growth and cost savings, though how much is enough remains open to question.
 
Clearwire added 1.54 million subscribers, 1.5 million of whom were wholesale as the company’s retail efforts continue to subside. That’s down somewhat from the first quarter but remained well above projections, and it raised guidance to reach over 10 million subscribers by the end of the year.
 
Clearwire added coverage for 7 million US households during the quarter, giving them 135 million total and 132 million in the US.
 
Clearwire’s LTE Advanced effort will focus on the most densely populated urban areas of their existing footprint, where current 4G usage demands are high. They will therefore be able to re-use their backhaul networks and a fair amount of their gear and keep costs reasonable in comparison to starting from scratch or from older infrastructure.
 
In a not-so-subtle dig at rival upstart LightSquared’s proposed LTE buildout, they reminded everyone that their 2.5Ghz spectrum holdings carry no risk to GPS networks – but of course we knew that. But Clearwire’s LTE buildout plans hinge on raising money for it, and they won’t be able to do that until they get their current house in sufficient order.
 
To that effect, let’s look at the financials for Q2. Pro forma revenues of $293.7 million were up 13.8% sequentially from the same measure last quarter. The company’s cost savings efforts bore measurable fruit. COGS, after taking out non-cash writedowns, fell 6% to $218.8 million, while selling and general expenses decreased 17% to $178.2 million.
 
 
Solid revenue growth coupled with falling costs can’t be a bad thing, but in Clearwire’s case they still have a long road to climb. Pro forma adjusted ebitda improved dramatically from last quarter’s loss of $194.2 million, but remained far in the red at $85.7 million.
 
On the other hand, the company’s cost cutting measures, including the Ericsson outsourcing, are still kicking in – so we can expect further improvements. Guidance on that front is for passing ebitda breakeven sometime next year.
 
This article was authored by Rob Powell and was originally posted on Telecomramblings.com.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akhirnya menyerah dengan pilihan teknologi yang digunakan untuk spektrum 2,3 GHz, khususnya yang akan digunakan oleh operator  pemenang tender broadband wireless access (BWA) tiga tahun lalu.

Jika sebelumnya,  Kemenkominfo lebih memilih standar  IEEE 802.16d-2004 untuk Fixed atau Nomadic Wimax dengan  teknik modulasi  Orthogonal Frequency Division Multiplex (OFDM) yang lebih dikenal dengan standar 16d.
Maka sekarang para pemenang tender dibebaskan memilih teknologi yang akan digunakan bisa standar 16d,  IEEE 802.16e-2005  untuk Mobile Wimax dengan teknik modulasi Spatial Orthogonal Frequency Division Multiplex Access (SOFDMA) atau 16e, mobile wimax, bahkan Time Duplex  Long Term Evolution (TD-LTE) sekalipun.

“Kami mencoba realistis dengan kondisi yang ada. Kita tidak bisa memasung pilihan teknologi yang akan digunakan. Jika terpasung dengan satu teknologi, kita khawatir tingkat penetrasi broadband di Indonesia tidak akan maju-maju,” ungkap  Direktur Jenderal Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika Kemenkominfo Muhammad Budi Setyawan di Jakarta, belum lama ini.
Diungkapkannya, perubahan kebijakan itu akan dituangkan dalam  peraturan pejabat direktur jenderal. “Kami telah berkonsultasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Hasilnya, kebijakan menggunakan teknologi netral ini tidak berdampak hukum terhadap hasil tender pada 2009. Tidak ada post bidding,” katanya.

Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono menambahkan, penerapan teknologi netral untuk sementara berlaku untuk alokasi di 2,3GHz dengan rentang 2360-2390 atau sebesar 30 MHz.
Menurut Nonot, penggunaan teknologi netral merujuk pada Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Dalam penjelasan poin D No 31, pemerintah mengarahkan pembangunan pos dan telematika menuju konvergensi dengan menerapkan teknologi netral yang responsif terhadap kebutuhan pasar dan industri.
“Teknologi yang terbuka akan menciptakan persaingan yang sehat antarpemain, dan menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi sumber daya lokal. Siklus perkembangan teknologi yang cepat juga harus diimbangi dengan regulasi yang mendukung,” ujarnya.

Dijelaskannya, syarat bagi operator pemenang tender BWA memilih teknologi netral harus bisa berinterperobility dan rela merogoh kocek untuk membayar price cap yang nantinya akan diumumkan pemerintah.  Penentuan price cap akan dilakukan melalui konsultasi publik.
”Kita akan diskusi dengan lembaga terkait untuk menentukan price cap jika operator ada yang memilih teknologi netral. Harus diketahui, sejak dulu para KRT di BRTI mendorong dipakainya teknologi netral,” katanya.
Ditegaskannya, walau memilih teknologi netral, namun regulator tidak akan menyampingkan masalah penyerapan komponen lokal yang dikenal dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dari sisi penggunaan perangkat nantinya.

Diungkapkannya, dari diskusi yang ada terkait TKDN, pemerintah menimbang menggunakan standar di 16d dimana pemenang tender wajib  memenuhi sebesar 30 persen bagi  subscriber station (CPE) dan 40 persen untuk base station TKDN dalam proyek BWA. Selain itu  juga diwajibkan meningkatkan penggunaan produksi perangkat telekomunikasi lokal hingga 50 persen dalam jangka waktu 5 tahun.

Untuk diketahui, sejak pengumuman tender pada 2009, layanan BWA dengan teknologi WiMAX 16d belum  dikomersialisasikan oleh para pemenang tender walau kewajiban membayar up front fee dan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi dipenuhi.
Alasannya, pilihan teknologi yang ditetapkan oleh pemerintah tidak memenuhi skala ekonomis sehingga menyulitkan para operator. Padahal, berdasarkan dokumen tender, perusahaan pemenang tender harus melakukan komersialisasi layanan pada November 2010, yang bisa diperpanjang selama satu tahun hingga November 2011.

Berdasarkan hasil tender 2009, pemerintah menetapkan delapan perusahaan sebagai pemenang tender lisensi BWA. Tiga perusahaan kehilangan lisensi, karena tidak mampu membayar biaya up front fee dan BHP frekuensi tahun pertama senilai  70 miliar rupiah.
Saat ini tersisa lima perusahaan pemegang lisensi BWA, yakni PT Berca Hardayaperkasa, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), PT First Media (First Media), PT Indosat Mega Media (IM2), dan PT Jasnita Telekomindo. Masing-masing perusahaan mendapat kapasitas sebesar 30 MHz di setiap zona lisensi.

Sambut Gembira
Chairman Berca Group Murdaya Widyawimarta Poo menyambut gembira langkah dari pemerintah tersebut. ”Kami siap memenuhi keinginan pemerintah, baik soal harus adanya price cap atau TKDN,” katanya.
Diungkapkannya, perusahaan telah menyiapkan investasi hingga  500 juta dollar AS untuk memasarkan layanan WiMax dengan merek Wigo di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa Tenggara dengan pengadaan perangkat dari Xirka dan Panggung Electric Citrabuana.

Menurut Direktur IM2 Indar Atmanto kebijakan teknologi netral dalam pemanfaatan spektrum yang terbatas   akan mampu meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam memanfaatkan teknologi.
Namun, ketika ditanya kesediaan membayar price cap, Indar menjawab secara diplomatis. ”Semua faktor akan menjadi pertimbangan   termasuk ketentuan-ketentuan terkini yang berlaku. Dalam men-deploy layanan BWA kita selalu memastikan bahwa layanan yang akan dipasarkan dapat dinikmati masyarakat dengan harga yang terjangkau,” katanya.

Sementara Head Of Corporate Communication Affair Telkom Eddy Kurnia menolak keras rencana pemerintah tersebut karena bertentangan dengan hasil tender. “Kami menolak rencana pemerintah ini. Ini namanya memberikan ketidakpastian bagi berinvestasi. Jika dari awal ditetapkan teknologi netral, tentunya Telkom dalam ikut tender tiga tahun lalu strateginya tidak seperti kemarin,” ketusnya.

Secara terpisah, Praktisi telematika Hermanuddin menyarankan jika pemerintah konsisten ingin mengembangkan BWA, seharusnya tidak perlu lagi ada price cap karena sudah dibayar oleh pemenang tender kala lelang beberapa tahun lalu.
“Frekuensinya sudah ditetapkan fleksibel mau digunakan untuk teknologi apa saja. Sekarang harusnya bergantung kepada pengguna melihat mana yang lebih efisien dan ekonomis,” katanya.[dni]
Agustus 4, 2011 (Sumber: Doni Ismanto http://doniismanto.wordpress.com)

;;