MP3 Clips

Wednesday, December 29, 2010

Silahkan KLIK GAMBAR dibawah untuk memperbesar:































Berdasarkan Press Release DEPKOMINFO hari Rabu 29 Desember 2010, berikut ini adalah rincian dari Struktur Organisasi baru DEPKOMINFO, dimana Pimpinan Departemen adalah MENKOMINFO, dengan susunan Eselon I/II sbb:

1. Sekretariat Jenderal:
a. Biro Perencanaan
b. Biro Kepegawaian dan Organisasi
c. Biro Keuangan
d. Biro Hukum
e. Biro Umum

2. Pusat-pusat Data, Info, Kerjasama dan Diklat Depkominfo yg dipimpin Sekjen:
a. Pusat Data dan Sarana
b. Pusat Kerjasama Internasional
c. Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat
d. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai

3. Inspektorat Jenderal
a. Sekretariat Itjen
b. Inspektirat ID
c. Inspektorat II
d. Inspektorat III
e. Inspektorat IV

4. Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika
a. Sekretariat Ditjen
b. Direktorat Penataan Sumber Daya
c. Direktorat Operasi Sumber Daya
d. Direktorat Pengendalian Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika
e. Direktorat Standardisasi Perangkat Pos dan Informatika

5. Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika
a. Sekretariat Ditjen
b. Direktorat Pos
c. Direktorat Telekomunikasi
d. Direktorat Penyiaran
e. Direktorat Telekomunikasi Khusus, Penyiaran Publik, dan Kewajiban Universal
f. Direktorat Pengendalian Pos dan Informatika

6. Ditjen Aplikasi Informatika
a. Sekretariat Ditjen
b. Direktorat e-Gov
c. Direktorat e-Biz
d. Direktorat Pemberdayaan Informatika
e. Direktorat Pemberdayaan Industri Informatika
f. Direktorat Keamanan Informasi

7. Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik
a. Sekretariat Ditjen
b. Direktorat Komunikasi Publik
c. Direktorat Pengolahan dan Penyediaan Informasi
d. Direktorat Pengelolaan Media Publik
e. Direktorat Kemitraan Komunikasi
f. Direktorat Layanan Informasi Internasional

8. Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
a. Sekretariat Badan
b. Puslitbang Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Telekomunikasi
c. Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Informatika
d. Puslitbang Aplikasi Informatik, Informasi dan Komunikasi Publik
e. Puslitbang Literasi dan Profesi SDM Komunikasi dan Informatika

Apakah Struktur Organisasi baru DEPKOMINFO ini sudah mengakomodasikan Konvergensi Konten (Konten Siaran, Pos dan Telekomunikasi), Konvergensi Infrastruktur dan Akses (Siaran, Pos dan Telekomunikasi) dan Konvergensi Manajemen Sumber Daya (Siaran, Pos dan Telekomunikasi) atau masih dalam tahapan Transisi menuju ke Konvergensi?

Apakah Struktur Organisasi baru DEPKOMINFO ini merupakan hasil yang maksimal yang dapat dicapai?

Silahkan diberikan tanggapan dan saran-sarannya.
Diagram Struktur Organisasi baru DEPKOMINFO dapat dilihat pada URL:
http://wirelesstekno.blogspot.com
dimana untuk memperbesar gambarnya, dapat dilakukan dengan "double click" gambar itu.

Semoga bermanfaat bagi kemajuan bangsa dan negara.

Monday, December 27, 2010

Masyarakat Indonesia memang sangat trendy, gadget yang baru muncul pasti diserbu oleh masyarakat Indonesia yang ingin tampil lebih dibandingkan yang lainnya. Ini sudah terbukti sejak awal tahun 1990-an, dimana Indonesia menjadi pengguna Nokia Communicator 9000 terbesar didunia yang saat itu menjadi simbol status bagi pemiliknya.

Di tahun 2010 ini memang lebih banyak pilihan bagi masyarakat, mulai dari iPhone 4GS, iPad, BlackBerry sampai berbagai model smartphone terbaru berbasiskan Operating System Android, seperti Samsung Galaxy Tab, Motorola Nexus One, dan lain-lainnya.

Apple iPad memang saat ini menjadi simbol status yang tertinggi, mulai dari Presiden SBY, Menteri, dan Direksi BUMN dan Swasta, pejabat Pemerintah berlomba-lomba untuk dapat menampilkan kesan bukan Gaptek kalau ditiap pidato dan sambutannya selalu didampingi oleh iPad, bak buku catatan elektroniknya. Harganya-pun selangit, sekitar Rp 14-jutaan.

Bagi yang lainnya, BlackBerry menjadi pilihannya, sebab selain trendy, benda itupun sangat bermanfaat bagi para pebisnis yang sangat sibuk, sebab dapat membuatnya tak lepas dari urusan bisnisnya melalui email, BBM dan SMS, yang dapat mereka pantau dan jawab secara efektif dan efisien. Keunggulan utama dari BlackBerry adalah kemampuan Push Mail-nya yang canggih, karena disediakan melalui Server khusus dan dengan sistem transmisi yang dikompressi, sehingga membuatnya mampu menembus saluran komunikasi data yang berkecepatan rendah (GPRS) dan kondisi yang buruk. Berbeda dengan Apple iPad, iPhone dan Android, yang menjadi kurang berguna kalau kecepatan transmisnya turun dibawah 3G.

Itulah sebabnya maka BlackBerry menjadi pilihan banyak masyarakat Indonesia, mulai dari karyawan biasa, manajer, maupun para Direksi perusahaan, sebab harganya yang variatif dan cukup murah untuk versi yang GPRS/EDGE.

Bangsa ini akan dapat meraih manfaat dari tren meningkatnya penggunaan smartphone BlackBerry, yang pada tahun 2010 ini melonjak 140% dari tahun sebelumnya. Jumlah pelanggan BlackBerry TELKOMSEL saat ini mencapai yang tertinggi diantara para operator lainnya, yaitu 960.000 orang.

Ditengah ancaman dikuranginya supply Bensin Premium mulai 1 Januari 2010, sehingga masyarakat Indonesia harus meningkatkan biaya transportasi ke/dari kantor, makin macetnya laululintas di Jakarat dan kota-kota besar lainnya pada jam kantor, maka saya ingin mengusulkan kepada para Pimpinan Institusi dan Perusahaan-perusahan BUMN dan Swasta, agar memperbolehkan para karyawan yang memiliki smartphone BlackBerry untuk bekerja dari rumah untuk 1-2 hari dalam seminggu, asalkan pekerjaan yang harus diselesaikan masing-masing dapat selesai tiap akhir hari hari kerja.

Kalau hal ini dilaksanakan secara Nasional, maka dampak penghematan Bahan Bakar, efisiensi kerja dan pengurangan kemacetan lalulintas menjadi sangat besar dan secara nasional meningkatkan produktivitas nasional bangsa Indonesia, dan tren kesukaan masyarakat Indonesia memanfaatkan gadget terbaru menjadi tidak mubazir.

Silahkan ditanggapi dan diberikan dukungan dan pelaksanaannya di kantor masing-masing.

Semoga bermanfaat bagi kemajuan bangsa dan negara.

Thursday, December 23, 2010

Berbagai kajian, diskusi dan working groups telah membahas konsep RUU Konvergensi, namun semuanya belum mengerucut ke sebuah pengertian yang komprehensif dan dapat menjangkau masa depan pekembangan TIK.

Sebagai kelanjutan diskusi di Mastel minggu lalu bersama konsultan Australia Mr. Ian Hayne, Pak Sukarno Abdulrachman, mantan Dirjen Postel, pak Nonot Harsono dari BRTI, pak Taufik Hasan, pak Gafar, saya dan kawan2 lainnya dari bidang penyiaran dan operator telekomunikasi, maka saya akan menyampaiakan sebuah Model Regulasi yang lebih komprehensif untuk menyusun UU Konvergensi yang dapat mencakup kondisi transisi masa kini dan kondisi full konvergensi masa depan.

Esensinya, akan ada 3-Layer atau Regulasi yang diatur dalam UU Konvergensi, yaitu:

  1. Content Service Layer, dimana akan diatur Content dalam Siaran/Broadcast maupun Content yang ada di bidang Telekomunikasi
  2. Infrastructure dan Access Layer, dimana akan diatur infrastruktur dan akses yg diperlukan bagi telekomunikasi maupun untuk siaran/broadcast yang memerlukan sarana ini.
  3. Resource Management Layer, dimana akan diatur Regulasi untuk sumber-sumber daya agar dapat beroperasinya telekomunikasi maupun broadcast/siaran itu.
Secara diagram dapat dilihat pada gambar dibawah ini, dimana yang diberi warna hijau adalah domain Regulasi untuk masing-masing bidang yang diatur (Telekomunikasi dan broadcasting).



Berdasarkan Model Regulasi tersebut diatas, maka saya harapakan konsep Regulasi Konvergensi yang telah disusun agar dapat disesuaikan.

Pada konsep RUU Konvergensi sebelumnya, setahu saya UU Siaran akan tetap berdiri sendiri, sehingga ini bisa menimbulkan berbagai masalah dalam pelaksanaan operasional dan regulasinya.

Dengan Model yang tergambar sebagaimana tersebut diatas, maka hanya ada satu UU Konvergensi, dimana Regulasi Konten siaran dan Konten telekomunikasi akan diatur dalam domain atau Layer 1, yang mencakup Content Service.

Sedangkan Regulasi untuk Telekomunikasi (dan Broadcasting/content yg menggunakan sarana telekomunikasi) diatur dalam Regulasi Infrastructure dan Access Layer (Layer2), serta Regulasi Resource Management (Layer3), seperti frekwensi, numbering, orbit satelit, dll.

Mohon segera agar diberikan tanggapan, sanggahan, argumentasi lainnya ataupun dukungan, sehingga arah penyusunan RUU Konvergensi ini bisa mengerucut menjadi satu yang disepakati bersama.

Semoga bermanfaat bagi kelancaran regulasi dan operasional TIK di masa depan, dan mendukung percepatan Pembangunan Nasional Indonesia.

Wassalam,

Tuesday, December 21, 2010

Ketika Asosiasi GSM Global dan WiMAX Forum berebut posisi teknologi 4G untuk mengantikan teknologi 3G yang overload oleh meningkatnya traffic data, dengan tekologi unggulan masing-masing yaitu LTE dan Mobile WiMAX, maka di Australia ditemukan sebuah teknologi Broadband baru "Ngara" yang memanfaatkan antena TV analog (yang akan berganti ke TV Digital) untuk mentransmisikan Broadband pada pita 6 MHz Analog yang diperuntukkan bagi wilayah Rural dan Pedesaan yang umumnya belum terjangkau layanan WiMAX dan LTE di masa depan.

Penemu TransmisiBroadband "Ngara" yang menggunakan Antena Pemancar TV Analog dengan sedikit modifikasi sehingga dapat menyalurkan Broadband dengan kecepatan 12 Mbps itu adalah Institut Riset CISRO (Commonwealth Institute of Science and Research Organization) Australia.

Teknologi "Ngara" ini menggabungkan teknologi OFDM dari WiFi dengan teknik Beam Formimg yang dapat mengarahkan transmisi Broadband ke Antena penerima TV individual dengan daya pancar tinggi dan kecepatan transmisi sampai 12Mbps.

Teknologi Ngara ini ternyata efektif sebagai solusi murah Broadband bagi wilayah-wilayah yang diluar jangkauan jaringan ADSL, Serat Optik, WiMAX dan LTE, dimana pengelarannya akan memerlukan biaya yang tinggi, seperti wilayah rural dan pedesaan Indonesia.

Solusi Broadband ini sangat murah karena memanfaatkan Antena Pemancar TV Analog dengan modifikasi seperti dijelaskan diatas, dan disisi penerima individual di rumah-rumah penduduk ditambahkan Setop Box yang sesuai untuk transisi broadband ini, sehingga broadband dapat dinikmati oleh mereka, baik melalui layar TV yang ada maupun ke Laptop dan PC di rumah mereka.

Ini adalah sebuah tantangan bagi para Periset Indonesia untukmelakukan riset yang serupa yang akan bermanfaat bagi peningkatan Penetrasi Jaringan Broadband yang akan memajukan perekonomian Indonesia.

Berita lengkapnya dapat dilihat di http://mastel2020.blogspot.com
Silahkan ditanggapi demi kemajuan bangsa dan negara.

Sunday, December 19, 2010

International Telecomunaction Union (ITU) akhirnya menyerah bahwa walaupun pihaknya tetap pada pendiriannya tentang Definisi 4G rigid yang menurutnya hanya berlaku bagi WiMAX 16m dan LTE Advanced, namun secara realistis istilah 4G dapat dipakai bagi teknologi awal WiMAx dan LTE, yaitu WiMAX 16e dan LTE biasa.

Ini sebuah pengakuan yang jujur, sebab kedua teknologi awal 4G itu (WiMAX 16e dan LTE) memang merupakan loncatan teknologi baru yang berbeda dari teknologi 3G yang di-disain utamanya untuk layana Voice, SMS dan Fax, sedangkan untuk layanan Data, merupakan teknolgi tambahan atau "add-on" saja.

Berikut ini adalah pengakuan jujur dari ITU itu sbb:

ITU capitulates, admits that the term '4G' could apply to LTE, WiMAX, and 'evolved 3G technologies'

Though it's standing firm on the definition of its original 4G specification -- IMT-Advanced -- which only WiMAX 2 and LTE-Advanced are currently capable of meeting, the ITU is easing off its earlier rhetroic, admitting that the term "4G" realistically could apply "to the forerunners of these technologies, LTE and WiMAX, and to other evolved 3G technologies providing a substantial level of improvement in performance and capabilities with respect to the initial third generation systems now deployed." The whole dust-up started when carriers around the world deploying LTE and WiMAX networks (ahem, Sprint and Verizon) were throwing the "4G" term around very, very loosely -- and to their credit, the networks are indisputably a generation beyond CDMA2000 and UMTS / HSPA, so if anything, we'd fault the ITU for leaving today's modern networks without a generation to call their own. The "evolved 3G technologies" verbiage in the ITU's statement would seemingly even leave room for T-Mobile USA's claim that its 21Mbps HSPA+ network constitutes 4G... so yeah, score one for marketing campaigns. Of course, none of these carriers had ever planned to bow to the ITU's recommendations anyway, so the ruling has little practical relevance -- just know that the true 4G speeds are still a few years off.

Wednesday, December 15, 2010

Professor Nicholas Negroponte, Mantan Kepala Lab Media Institut Teknologi Massachusetts (MIT) yang sangat kreatif dan innovatif dalam merancang sebuah laptop kecil atau netbook dengan harga US$100 sehingga makin banyak masyarakat yang dapat menikmati internet sebagai sumber informasi dan pengetahuan, agar mereka dapai mengikuti kemajuanteknologi, menjadi lebih cerdas untuk dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.


Netbook murah seharga US$100 atau kurang sekarang benar-benar dapat di realisasikan dan diproduksi di india, Taiwan dan Cina. Kalau di Indonesia harganya masih sekitar US$200-an karena belum ada industri lokal yang kuat untuk mendukungnya.

Prof Negroponte ternyata juga seorang pemikir yang hebat. Beliau meramalkan bahwa akan ada perubahan 180-derajat dalam teknologi telefoni dan broadcasting, atau "switch" perubahan ini. Perobahan besar ini adalah sbb:

  1. Dahulunya telpon hanya bisa disalurkan lewat kabel tembaga, dan tidak ada yang lewat 'udara bebas" atau Wireless. Namun sekarang ini, 5-milyar ponsel digunakan oleh penduduk dunia yang jumlah totalnya adalah 6-milyar, jadi tinggal 1-milyar penduduk yang belum tersambung ke ponsel. Jadi benar adanya kalau kita katakan bahwa "The Future is Mobile Wireless". Jadi telah ada perubahan atau "switch" penggunaan infrastruktur layanan telpon dari kabel ke Wireless.
  2. Dahulunya siaran broadcast TV dan Radio disalurkan lewat udara bebas atau Wireless, namun sekarang ini sudah makin banyak lagi siaran radio, musik, TV, streaming video, Youtube video yang disalurkan lewat jaringan internet menggunakan kabel tembaga (ADSL), coaxial, dan kabel serat optik. Jadi telah terjadi perubahan atau "switch" yang berbeda 180-derajat antara broadcast dan telepon.
Perobahan atau 'switch" tercebut telah diramalkan oleh Prof Negroponte sejak beberapa tahun yang lalu, dan sekarang kita lihat bahwa hal itu memang benar-benar terjadi.

Oleh karena itu saya sarankan agar para eksekutif Telekomunikasi, Regulator dan Broadcaster TV dan Radio untuk memahami adanya perubahan itu dalam waktu dekat, serta membuat langkah-langkah antisipasinya agar mereka tidak tersentak kaget kalau tiba-tiba bisnis yang selama ini digelutinya menjadi mundur dan akhirnya bangkrut.

Di banyak negara maju, jumlah pelanggan PSTN menyusut terus, karena layanannya yang sudah tidak menarik, tidak ada fitur2 yang canggih, lagi pula juga sudah makin lebih mahal dari layanan ponsel. Akhirnya pelanggan PSTN itu malah rame-rame berhenti berlangganan, dan beralih ke ponsel. ARPU PSTN juga menurun terus, operator rugi kalau harus meneruskan layanan ini.

Untuk layanan Broadcasting TV dan Radio, telah terjadi pula migrasi dari siaran Wireless ke siaran lewat kabel, seperti TV Kabel, dan Internet yang mutu layanannya jauh lebih baik, dan stabil. Layanan-layanan ini juga sama-sama bisa dinikmati pelanggan secara gratis, dan dapat diunduh dari seluruh dunia, seperti siaran Radio ABC Australia yang dapat diunduh dari URL sbb: http://www.abc.net.au/triplej/listenpop/listen_live.htm

Demikian pula BBC London dapay pula diunduh lewat Internet via URL sbb:

Kesimpulan dari tulisan diatas adalah: jangan lagi menghambur-hamburkan pita frekwensi yang langka dan mahal untuk siaran broadcast, sebab dengan hadirnya Jaringan Broadband, maka siaran Radio dan TV akan lebih banyak lagi yang disalurkan via jaringan Broadband ini dari pada lewat udara bebas atau wireless, baik itu yang terrestrial maupun yang via Satelit. Pemerintah/Regulator harus lebih jeli melihat masa depan siaran Broadcast TV dab Radio, mengurangi alokasi pita wireless-nya untuk kebutuhan yang lebih penting lagi yaitu komunikasi antar penduduk menggunakan mobile Wireless.

Silahkan ditanggapi, disanggah atau didukung, demi kemajuan bangsa dan negara.
Wassalam,


Tuesday, December 14, 2010

Industri DN teknologi LTE akan memerlukan waktu 2-3 tahun lagi untuk bisa mandiri, dimana yang lebih cocok buat Indonesia adalah jenis TDD-LTE yang menggunakan pita frekwensi lebih efisien serta tidak memerlukan pasangan pita frekwensi yang berbeda antara kanal transmit dan recive.

Pemerintah memprioritaskan penyusunan regulasi tingkat komponen dalam negeri yang komprehensif untuk menjamin kelangsungan usaha pengguna teknologi long term evolution (LTE).

Gunawan Wibisono, Ketua Tim Kajian Roadmap Kesiapan dan Strategi Pengembangan Industri Dalam Negeri Ditjen Postel Kementerian Komunikasi dan Informatika, mengatakan pihaknya telah merekomendasikan pengaturan yang komprehensif untuk LTE.

“Terkait dengan TKDN [tingkat komponen dalam negeri], kami perkirakan di Indonesia LTE akan terlambat 1—2 tahun agar regulasinya matang dulu di semua aspek, termasuk kesiapan industri dalam negeri. Kami meminta operator [seluler] bersabar sambil mengikuti perkembangan LTE di luar negeri,” ujarnya di sela-sela demo frequency division duplex (FDD) dan time division duplex (TDD) LTE hari ini.

Menurut Gunawan, LTE baru akan matang pada 2 tahun mendatang sehingga operator juga perlu mencermati peluang dengan belajar dari pengalaman pengadopsian 3G sebagai pertimbangan.

Dia mencontohkan ketika 2G digelar, 3G diunggul-unggulkan, tetapi kenyataannya hingga saat ini penggunaan 3G belum optimal.

Pengalaman dari para pengguna 3G saat ini masih mengecewakan, sebab kecepatan transmisi yang di-iklankan tidak terbukti, lelet, dan mengakibatkan para pengguna tidak dapat memperoleh pengalaman berselancar di Internet sesuai kriteria "true Broadband". Akibtanya berbagai hipotesa tentang manfaat Broadband sebagai enabler pertumbuah perekonomian nasional belum menjadi kenyataan, yaitu tiap 10% penerasi Broadband akan menumbuhkan GDP Indonesia sebesar 1,38% atau senilai RP 138 Trilyun per tahun. Karena tidak tercapai, maka ini merupakan potensi kerugian nasional.

Tim roadmap juga menegaskan LTE bukan hanya persoalan di frekuensi mana akan digelar, melainkan juga perlu memperhatikan kelangsungan usaha di teknologi itu sebagai pertimbangan regulasi secara komprehensif.

Heru Sutadi, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), mengatakan terkait dengan TKDN, lokal belum memiliki peran dan kontribusi signifikan di teknologi broadband (pita lebar) nirkabel.

“Kami belum sampai pada kebijakan keberpihakan karena ini satu kesatuan ruang lingkup. Jadi prinsipnya akan ada TKDN yang harus dipenuhi dan ada kontribusi terhadap perkembangan industri dalam negeri dan agar bangsa ini tidak sekadar sebagai bangsa konsumtif,” tegasnya.

Dia menjelaskan di porsi TKDN, peranti LTE variatif dan industri lokal akan didorong untuk berkiprah dalam pengembangan chip, konten atau peranti lainnya meski prosesnya tidak mudah.

Adapun, di sisi operator, kebijakannya tidak jauh berbeda pada penerapan 3G yang mengatur 30% belanja modal dan 40% belanja operasional harus menyerap TKDN.

Heru menambahkan pihaknya masih melanjutkan evaluasi dan penataan frekuensi dengan kemungkinan refarming di frekuensi 900 MHz, 1800 MHz, 700 MHz, 2,3GHz, 2,6 GHz serta frekuensi lainnya terkait dengan digital dividen clear hingga 2018.

“Khususnya di 2,3 GHz mengingat baru satu operator WiMax [16d] yang meluncurkan layanan, kami masih perlu mengkaji apakah akan membuka lebar pita 60 MHz untuk WiMax 16e atau LTE, termasuk kemungkinan membuka lelang lain,” ujarnya. (sumber: bisnis.com jha).

Silahkan ditanggapi.

Thursday, December 9, 2010

Layanan WiMAX 16e dan 3G di Amerika Serikan merupakan dua layanan jasa telekomunikasi yang saling komplementer, sebagaimana dilakukan oleh operator Clear Wireless, sebab untuk wilayah-wilayah yang belum terjangkau oleh WiMAX, maka pelanggan dapat mengaktifkan modem 3G, sedangkan di wilayah yang terjangkau layaann WiMAX, maka mereka dapat memanfaatkannya untuk komunikasi data dan berselancar di Internet dengan kecepatan yang tinggi, sehingga mereka menikmati layanan "true Broadband" untuk dapat merealisasikan Broadband Economy. Berikut ini adalah tawaran layanan WiMAX+3G dan sekaligus HotSpot WiFi yang modemnya sudah embedded di Laptop para pelanggan, sehingga praktis pelanggan memperoleh layanan 3-in-1 dari satu Operator Telekomunikasi.





















Selain dari pada produk-produk untuk single user tersebut diatas, telah ada pula produk untuk sharing WiMAX bersama, menggunakan distribusi jaringan WiFi, jadi semacam portable HotSpot WiFi, dimana sinyal Internet diperoleh dari WiMAX.

Di Malaysia, Korea dan Jepang para operator juga telah menyediakan layanan Bundled Service saat pembelian sebuah Laptop Samsung, LG dan Acer, telah di-embbeded modem-modem WiMAX dan WiFi didalamnya.

Semoga informasi ini bermanfaat bagi kita semua.

Sunday, December 5, 2010

Jaringan 3G, baik itu CDMA 2000 1X maupun UMTS/WCDMA/HSDPA memang di-disain untuk layanan Voice, SMS, Fax, Data berkecepatan rendah, karena carrier pembawa data hanya dibuat ukuran kecil (narrow band), sekitar 1.25 MHZ, sehingga kita tidak bisa mengharap banyak hasilnya. Terbukti dilapangan, bahwa layanan 3G yang ada ternyata sangat tidak memuaskan pelanggan, walaupun di klaim oleh para operator kecepatan transmisi data puncaknya sebagai 3,6 Mbps, 7,2 Mbps, 14,7 Mbps, 21 Mbps, dan terakhir HSPA+ dengan kecepatan transmis 42 Mbps.

Semuanya belum terbukti dilapangan, di Ponsel, Laptop, di PDA, di PC, dll, kecuali di saat testing awal saja saat ULO.

Kemarin di Milis MASTEL ada berita menarik dari seorang anggota, yaitu Pak Richard Kartawijaya yang menguji-coba gratis layanan WiMAX Sitra 4G First Media dirumahnya, dan hasilnya sungguh memuaskan hatinya, karena ia menikmati kecepatan "TRUE" Broadband: Youtube bisa didownload cepat dan tidak terlihat "ndut-ndutan", email instant, download/upload files terlihat mendekati kecepatan instant...

Kalau rakyat Malaysia saat ini sudah bisa menikmati layanan "True Broadband" itu dengan kecepatan yang sangat tinggi dari 4-oprator WiMAX 16e, sehingga penetrasi Broadband di negeri itu pada akhir tahun 2010 ini mencapai 50% perumahan (Household) dan menjadi 90% tahun 2011, maka kita perlu iri-hati. Tahun 2010 ini rata-rata penduduk Malaysia memakai data sebesar 13 GB per bulan, dan tahun depat diramalkan akan mencapai rata-rata 50GB per bulan.

Prof. Budi Rahadjo melalui postingnya di Twitter menyatakan kalau beliau butuh tiap bulan data download/upload sebesar 100 GB per bulan. Namun ada berapa orang di Indonesia yang butuh download/upload data sebesar ini tiap bulan?

Jadi Indonesia sebenarnya juga mampu untuk memberikan layanan serupa dengan Malaysia, sehingga penetrasi Broadband sebagai indikator kemajuan perekonomian nasional melalui dampak Broadband Economy-nya, seharusnya juga sudah dinkmati rakyat Indonesia.

Dari data empiris, maka tiap 10% peningkatan penetrasi Broadband akan menumbuhkan GDP sevesar 1,38%. Jadi kalau kita terlambat menerapkan Broadband selama 3-tahun, ini sama artinya kalau kita sudah kehilangan potensi sebesar 3x1,38%xGDP Indonesia (US$1 Trilyun) = Rp 414 Trilyun.

Mau sampai kapan lagi kita menunda kehadiran True Broadband di Indonesia? Haruskah kita menunggu hadirnya LTE yang merupakan produk proprietary, yang harus dibayar lisensinya, padahal kita sudah siap dengan manufaktur WiMAX 16d dan 16e dengan kandungan lokal yang tinggi?

Kalau ini disebabkan karena para Operator 3G takut kehilangan pasarnya, ini hanyalah ketakutan yang berlebihan, sebab seperti dibuktikan di banyak negara maju, opartor 3G juga mengoperasikan WiMAX 16e tanpa ketakutan kehilangan pasar 3G, malah memang ini strateginya untuk offload traffic data 3G yang sudah overload seperti halnya di Indonesai, dan menggantikannya dengan teknologi baru 4G yang memang benar-benar dirancang khusus untuk traffic data, yaitu WiMAX 16d dan 16e (juga LTE, namun khan kita masih harus menunggu lebih lama untuk operasionalnya, sebab sekaran masih tahap ujicoba dan trial skala kecil, sehingga harganya masih sangat mahal).

Jadi saran saya kepada Regulator, agar layanan WiMAX 16d dan 16e dioperasikan pada pita frekwensi 2,3GHz yang memang sejak awal diproyeksikan untuk itu. Jangan ditunda lagi, sebab dampaknya adalah potensi kerugian nasional sebesar Rp 138 Trilyun tiap tahun. Untuk LTE, yang merupakan Roadmap jaringan 3G hendaknya dialokasikan pada pita 3G yang ada, serta pada pita hasil Digital Dividend pada 700 MHz dan 2,6 GHz, sekaligus memberikan kesempatan kepada manufaktur lokal lainnya yang katanya sedang mempersiapkannya.

Berfikirlah positif demi kemajuan bangsa dan negara yang kita cintai. Lupakan segala argumentasi masa lalu yang tidak produktif dan konstruktif. Mari kita semua melihat kedepan, Zaman keemasan Indonesia, Indonesia yang aman, adil, makmur dan sejahteran bagi seluruh rakyatnya.

Silahkan ditanggapi, disanggah atau didukung, dengan tujuan demi kemajuan bangsa dan negara yang kita cintai.

Wassalam,
S Roestam
http://wirelesstekno.blogspot.com
http://wartaduniamaya.blogspot.com
http://mastel.wordpress.com

Thursday, December 2, 2010

1. "Waiting Game is a Losing Game"

Kita sudah tertinggal selama 3-tahun dalam menerapkan Broadband Wireless Access sebagai infrastruktur utama untuk menjadikan jaringan Broadband sebagai enabler pertumbuhan perekonomian bangsa. Untuk tiap 10% penetrasi jaringan Broadband, maka secara empiris diperoleh pertumbuhan GDP sebesar 1,38%. GDP Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan sebesar US$1.000 milyar. Bila kita angap tiap tahun jaringan broadband itu tumbuh sebesar 10%, maka dalam 3-tahun seharusnya GDP itu tumbuh sebagai dampak Broadband Economy sebesar 3x1,38%xUS41.000 milyar = US$41,4 milyar atau Rp414 Trilyun. Ini merupakan lost of opportunity dari bangsa Indonesia.

2. "The Future is on Mobile Broadband Technology"

Saat ini di Dunia sudah ada 5-milyar perangkat Mobile Wireless. jadi untuk menggenapkan jumlah itu menjadi 6-milyar penduduk Dunia, maka "The Next Billion" adalah Mobile Wireless users, utamanya adalah Mobile Broadband Wireless users.

Peniliti OVUM memperkirakan bahwa pada tahun 2015 didunia akan ada 750-juta Fixed Broadband lines, termasuk didalamnya 150-juta Serat Optik. Pada tahun yang sama jumlah Mobile Wireless Broadband Users sudah akan mencapai 3,2-milyar orang atau lebih dari 4-kali lipat dari Fixed Broadband lines.

3. Indonesia sudah siap mengembangkan IDN Broadband WiMAX di Pita 2,3 GHZ

Setelah berjuang selama 3-tahun akhirnya Indonesia memiliki kemampuan untuk menguasai Core Teknologi Broadband Wireless Access WiMAX atau Chipset WiMAX, baik itu WiMAX 16d maupun 16e, dimana malah produk WiMAX 16e telah berhasil di-expor ke berbagai negara di luar negeri. Bila berhasil dikembangkan lebih lanjut menuju ke teknologi WiMAX 2.0 (Generasi ke-2), yaitu WiMAX 16m yang telah diakui oleh ITU sebagai "True 4G" (Teknologi Seluler Generasi ke-4) yang setara dengan LTE-Advanced, dimana akan dapat dicapai kecepatan transmisi puncak sampai 340 Mbps, maka akan dapat turut dikembangkan industri pendukungnya di dalam negeri, seperti antena, casing, content dan aplikasi-aplikasinya, after-sales-service, training dan education, dll.

Ini merupakan sebuah kesempatan emas untuk membangun industri manfaktur dalam negeri Indonesia, dimana bila kesempatan emas ini dilewatkan, maka mungkin kesempatan emas serupa tidak akan hadir dalam jangka waktu 100 atau 1000-tahun lagi. Kita harus ingat pengalaman 3-tahun y.l., "Waiting Game is a Losing Game", melihat ke butir 1 diatas.

4. Indonesia belum siap membangun Core Technology LTE, perlu waktu minimum 3-tahun lagi.

Teknologi LTE adalah teknologi yang sudah dipatent-kan, Kekayaan Intelektual-nya (IPR-nya) sudah dimiliki oleh negara-negara lain, yaitu Eropa, Cina, Korea dan USA. Kalaupun kita ingin mengembangkan Core Technology LTE sendiri, maka akan perlu waktu lebih dari 3-tahun. Kalau beli lisensi, maka akan mahal, lagipula mengembangkan teknologi milik orang lain hanya akan menghasilkan nilai tambah yang sangat minimal.

Maka berlaku lagi pengalaman pada butir 1 diatas, yaitu "Waiting Game is a Losing Game....."

5. Teknologi WiMAX 16e sudah sangat matang, harga CPE-nya sekitar $30, sedangkan Teknologi LTE masih pada tahap awal, harga CPE-nya diatas ribuan Dollar.

Teknologi WiMAX adalah teknologi Broadband Wireless yang sudah sangat matang, sebab sudah berjalan selama lebih dari 3-tahun, merupakan teknologi yang hasilnya terjangkau masyarakat luas, harga CPE-nya sekitar $30 tahun depan, memiliki ecosystem industri yang robust (kuat), sudah ada lebih dari 300-jenis perangkat yang terkait, digunakan pada 500 jaringan telekomunikasi diseluruh dunia yang mencakup populasi sebanyak 800 juta orang.

Sedangkan Teknologi LTE adalah teknologi yang baru saja dikembangkan (masih bayi, infant). Untuk mencapai tahap kesiapan seperti Teknologi WiMAX diatas, maka akan butuh waktu sekitar 2-3 tahun lagi, sehingga pengalaman pada butir 1 diatas berlaku lagi: "Wating Game is a Losing Game..."

6. Pita 2,3GHZ paling cocok untuk WiMAX, bukan untuk LTE yg akan menjadi keputusan yang aneh.

Sejak awal memang pita frekwensi 2,3GHz sudah dialokasikan untuk Teknologi Broadband Wireless Access WiMAX. Menempatkan LTE pada pita 2,3GHz menjadi sebuah keputusan yang aneh, membuat pelanggan LTE Indonesia menjadi terkucilkan, tidak bisa membawa keluar perangkat ponsel LTE, PDA LTE atau Laptop LTE ke luar negeri saat kita bepergian, sebab menggunakan pita frekwensi diluar standar Internasional. Kalaupun ingin membuat CPE Indonesia bisa roaming, maka perlu ditambahkan fitur multi-band dengan menambah biaya bagi masyarakat penggunanya, dan membebani keuangan mereka dengan biaya yang tidak seperlunya.

Regulator perlu menetapkan pita 2,3GHz sebagai Teknologi Netral untuk WiMAX (16d dan 16e).

Kerugian lainnya, perangkat LTE produksi Indonesia pada pita 2,3GHz tidak bisa di ekspor ke LN, sehingga membuat industri DN LTE ini sulit untuk berkembang.

Solusi yang terbaik bagi LTE Indonesia adalah menempatkannya pada pita 3G karena LTE adalah kelanjutan dari teknologi itu, atau pada pita hasil Digital Dividend siaran Broadcast TV di 700 MHz, dan pada pita 2,6MHz seperti yang telah dirancang oleh mayoritas negara-negara lain di Dunia.

7. Keuntungan Masa Depan dari Operator 3G yang berevolusi ke LTE tidak akan dinikmati oleh Operator Non-3G dan Operator Baru.

Para operator telekomunikasi 3G memang mendapat keuntungan penghematan CAPEX ketika ber-evolusi ke LTE, sebab ada common RF Equipment di BTS yang dapat di-share oleh kedua teknologi itu. Namun bagi para operator Non-3G, seperti para ISP, Cable-TV, dan para operator pendatang baru, tidak mendapatkan keutungan itu ketika menerapkan Teknologi LTE.

8. Perlu ada keputusan yang tepat dan cepat.

Semua pengalaman dan penderitaan bangsa ini selama tiga tahun yang lalu perlu kita ambil sebagai sebuah pengalaman dan pelajaran yang mahal namun juga berharga, cukup sudah lost opportunity sebesar Rp 414 Trilyun, jangan ditambah lagi. Maka kini tiba saatnya kita semua mengambil keputusan yang tepat dan cepat....

Silahkan ditanggapi, disanggah, dibenarkan atau didukung, sehingga kita bisa yakin bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik, demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai.

Wassalam,
S Roestam
http://wirelesstekno.blogspot.com
http://wartaduniamaya.blogspot.com
http://mastel.wordpress.com

Selasa, 30 Nopember 2010

Dibukanya wacana menerapkan teknologi netral di spektrum 2,3 GHz seolah-olah merupakan oase bagi pemain 3G yang sudah tak sabar menerapkan Long Term Evolution (LTE) di Indonesia. LTE adalah lanjutan dari teknologi seluler generasi ketiga (3G) setelah high speed downlink packet access (HSDPA) dan HSPA+. Inovasi ini memberikan tingkat kapasitas downlink sedikitnya 100 Mbps dan uplink paling sedikit 50 Mbps.

Spektrum yang ideal untuk LTE adalah di 700 MHZ dan 2,6 GHz dengan lebar pita 20 MHz. Namun, LTE juga bisa berjalan di 1.800 MHz atau 2,3 GHz. Operator yang sudah tak sabar menggelar LTE adalah Telkomsel, Indosat, dan XL. Sekjen Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI) Dian Siswarini menyambut gembira langkah yang diambil oleh pemerintah.

“Sudah tepat kebijakan yang diambil pemerintah menetapkan teknologi netral di 2,3 GHz karena frekuensi adalah sumber daya utama yang tidak boleh disia-siakan. Para pemain 3G akan semangat ikut tender nantinya,” ungkapnya kepada Koran Jakarta, Senin (29/11). Senior Director and Country Manager Qualcomm Indonesia Harry K Nugraha mengungkapkan jika pilihan dijatuhkan di 2,3 GHz untuk LTE, Indonesia akan mengembangkan Time Duplex LTE (TDD-LTE) seperti di China dan India.

“Sebagai pengembang teknologi, kami meyakini inovasi seluler memunyai skala ekonomi yang lebih besar. Pemilihan teknologi netral adalah jalan terbaik karena industri yang menentukan mana inovasi yang cocok bagi bisnisnya,” tegasnya. Menurutnya, penerapan TD-LTE tetap akan menjadikan Indonesia seksi bagi vendor global karena chipset yang digunakan multiteknologi, yakni FDD-LTE, Evolution Data Only (EVDO), dan HSDPA.

“Itu untuk memudahkan jika mau roaming ke luar negeri,” katanya. Dia menegaskan Qualcomm siap mengembangkan industri lokal dalam mendukung LTE, terutama berkaitan dengan konten. “Ini salah satu sektor yang bisa membuat Indonesia bisa berkembang jauh lebih cepat. Kalau bicara manufaktur, masalahnya tidak sesederhana di R&D dan pabrik.

Ada isu distribusi, produk, lifecycle, impor suku cadang, dan lainnya.” CEO Xirka Silicon Technology Sylvia W Sumarlin mengungkapkan, hingga sekarang, belum ada penetapan spektrum ideal untuk LTE. “Baru ada dijalankan di bawah 2 atau di atas 2,5 GHz. Kalau enam vendor besar dunia belum memulai produksi massal perangkat LTE, ini mengindikasikan belum ada kesepahaman atas frekuensi rujukannya,” tegasnya.

Sylvia mengingatkan, jika LTE dipaksakan diimplementasi di 2,3 GHz, sama saja Indonesia menghidupi satu vendor global. “Mari kita lihat vendor di China yang justru sedang mengembangkan perangkat untuk spektrum 1,8GHz dan 2,5 GHz. Ini artinya mereka tahu pasarnya ada di sana. Jika Indonesia memaksakan di 2,3 GHz untuk LTE, artinya mengulangi kesalahan dengan memilih Wimax 16d yang membuat negara ini aneh sendiri,” tegasnya.

Ketua Bidang Teknologi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Taufi k Hasan mengakui spektrum 2,3 GHz secara profi l lebih dekat ke Wimax. “LTE lebih cocok di 2,6 GHz karena ada kaitannya dengan roaming dan skala ekonomi. Jika dipaksakan di 2,3 GHz, untuk roaming bisa menggunakan terminal multiband multimode, tetapi mahal sekali,” jelasnya.

Taufik menjelaskan TD-LTE dikembangkan dari TD-SCDMA di China yang roadmap-nya sama dengan 3GPP. Teknologi ini dipakai di Amerika Serikat dan sebagian Eropa. Namun, TDLTE yang berjalan di 2,3 GHz hanya ada di China dan India. “Kalau ingin manufaktur lokal mengembangkan perangkat LTE 2,3 GHz akan susah. Tantangannya lebih berat ketimbang mengembangkan Wimax 16e di 2,3 GHz.”
dni/E-5 (sumber: Koran Jakarta)



Bagikan

Selasa, 30 Nopember 2010
Teknologi WiMAX , Operator Meminta Perlakuan yang Sama

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) akhirnya membentuk tim ad hoc untuk menyelesaikan kisruh pilihan standardisasi di frekuensi 2,3 GHz. Tim ad hoc ditugaskan untuk mengevaluasi penggunaan sisa pita yang tersedia sebanyak 60 MHz untuk penggunaan teknologi netral kala dilakukan lelang tahun depan. Pemilihan teknologi netral berarti pemberian izin tidak dikaitkan dengan satu inovasi.

Industri memiliki hak untuk memilih. Di frekuensi 2,3 GHz, tengah terjadi tarik-menarik standar antara pemegang lisensi Broadband Wireless Access (BWA) yang telah mendapatkan alokasi pita sebesar 30 MHz dengan pemerintah. Para pemenang mendesak pemerintah merevisi surat Keputusan Dirjen Postel No 94, 95, dan 96/2008 mengenai batasan kanalisasi.

Regulasi itu mengatur pembatasan channel bandwidth sebesar 3,5 MHz dan 7 MHz yang dalam istilah teknis mengacu pada standar Worldwide interoperability for Microwave Access (WiMAX) IEEE 802.16d-2004 (16 d) untuk Fixed atau Nomadic Wimax. Pemenang meminta direvisi menjadi 5 MHz dan 10 MHz yang identik dengan IEEE 802.16e-2005 (16 e). Dampak dari tarik-menarik ini, tidak ada satu pun hingga sekarang dari delapan pemenang yang menggelar layanan komersial.

“Saya sudah membentuk tim ad hoc untuk membahas kisruh di 2,3 GHz yang akan bekerja sebulan ini membahas tentang lelang sisa pita sebesar 60 Mhz digunakan untuk teknologi netral. Sedangkan untuk alokasi 30 MHz yang telah ada pemenangnya tak akan diubah standarnya, tetap 16 d,” tegas PLT Dirjen Postel M Budi Setyawan kepada Koran Jakarta.

Dia menjelaskan pihaknya tidak bisa meloloskan keinginan para pemenang tender untuk mengubah regulasi tentang kanalisasi karena akan memperumit masalah. “Saya tidak mau kala Long Term Evolution (LTE) masuk tahun depan menjadi masalah lagi.

Baiknya dipilih saja teknologi netral di sisa pita 2,3 GHz karena spektrum itu bisa digunakan untuk wimax standar d atau e, bahkan LTE,” jelasnya. Langkah Postel tidak merevisi regulasi itu bisa dimaklumi karena menurut Peraturan Pemerintah (PP) No 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit dalam Pasal 27, pelaksanaan realokasi frekuensi radio harus memberi tahu pemegang izin dua tahun sebelum penetapan.

Artinya, jika merujuk pada regulasi ini, tentunya pengubahan standar akan membuat komersialisasi Wimax semakin lama. Seandainya dipaksakan pun pengubahan standar bisa dianggap melanggar PerPres 54/2010 tentang pengadaan barang dan jasa karena dianggap telah terjadi post bidding.

Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang juga masuk Tim Ad Hoc, Nonot Harsono, mengungkapkan yang dibahas antara lain masalah iklim kompetisi, jumlah operator di level akses, dan core network. “Kami juga memiliki pelajaran dari lelang dua tahun lalu di mana harga frekuensi bisa melonjak tajam.

Bisa dibayangkan untuk 60 MHz akan terjadi pertempuran antara pemain Wimax dan 3G, harga frekuensi bisa melonjak tinggi dari penawaran dasar. Dampak sosial ekonominya menjadi perhatian,” tegasnya.

Perlakuan Sama

Operator yang menjadi pemenang dalam tender dua tahun lalu meminta pemerintah menerapkan perlakuan sama, yakni penggunaan teknologi netral di pita 30 MHz. “Wacana adanya lelang untuk 60 MHz itu bagus, tetapi kami minta di 30 MHz diberlakukan juga teknologi netral,” ungkap GM Pengembangan Bisnis First Media Hermanuddin.

VP Public Relations and Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia mengatakan perseroan pasti akan memanfatkan semua peluang yang ditawarkan pemerintah untuk memperkuat bisnis perseroan secara grup. “Kami pun meminta pemerintah memberikan kemudahan sebagai pemenang di 2,3 GHz dua tahun lalu untuk memilih standar karena semua kewajiban kepada negara sudah dipenuhi,” katanya.

CEO Xirka Silicon Technology Sylvia W Sumarlin menilai kebijakan pemerintah menetapkan teknologi netral lebih pada membuka jalan masuknya standar Wimax 16e. “Kebijakan itu langkah yang tepat agar pengembangan Wimax bisa tercapai dengan segera.

Kebijakan ini seharusnya juga berlaku bagi 8 operator yang menjadi pemenang dua tahun lalu agar ada kelangsungan operasi, tidak kesulitan mencari suku cadang, dan memunyai kesempatan untuk mendorong aplikasi canggih yang hanya bisa dilakukan di 16e,” jelasnya.

Menurutnya, teknologi netral adalah pemilihan inovasi, yakni profi l atau standar yang diterapkan adalah netral. Jadi, dalam hal ini, untuk 2,3 GHz, teknologi pilihan adalah Wimax yang standarnya bisa langsung ke 16e yang kemudian bisa dinaikkan ke mobile tanpa adanya regulasi baru. “Ini sama dengan jalan tol ditetapkan standarnya untuk kendaraan roda empat.

Masalah merek mobil yang lewat, pemerintah tidak peduli. Jadi, netral di sini bukan semua kendaraan dari roda dua hingga empat,” tuturnya. Komisaris PT INTI Johnny Swandi Sjam pun mendukung pemberlakuan teknologi netral untuk semua pemain di 2,3 GHz, baik pemain lama maupun baru, karena industri dalam negeri sudah siap memproduksi perangkat wimax standar 16 e.

“Chipset sudah ada Xirka. Jika sekarang dibuka, industri dalam negeri bisa berkembang manufakturnya karena potensi permintaan sedang tinggi,” jelasnya. Sementara itu, Komisaris Teknologi Riset Global (TRG) Sakti Wahyu Trenggono mengaku tidak keberatan dengan teknologi netral untuk sisa pita di 2,3Ghz, asalkan masalah Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tetap diberlakukan sama dengan Wimax standar 16 d.

“Kami minta perlakuan sama. Soalnya kami sudah investasi puluhan miliar rupiah untuk membangun ekosistem 16d. Belum lagi pabrik yang akan beroperasi mulai tahun depan,” tegasnya. Ketua Bidang Teknologi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Taufik Hasan memperkirakan tsunami teknologi akan terjadi jika 16e dibuka tanpa persiapan matang.

“Ekosistem standar ini di luar negeri lebih kuat ketimbang manufaktur lokal yang sedang infant. Jika lelang dilakukan tahun depan, yang akan memakan waktu enam bulan, saya perkirakan cukup mematangkan manufaktur lokal,” katanya.
dni/E-5 (sumber: Koran Jakarta)

Wednesday, December 1, 2010

TD LTE is never ever promoted by Qualcomm till today anywhere in the world. Qualcomm has been promoting FDD LTE in 700 Mhz and 2.6 Ghz band. That is a public news.

The TD LTE based chipsets are yet to be launched by any company in the semiconductor industry leave alone Qualcomm as the IPR for TD LTE is predominantly Chinese based.

USA and Europe are betting on FDD LTE and that is expected for bulk adoption by telcos in 2013 with devices in bulk manufacturing. FDD LTE may be launched first in USA and Europe later.

Global telcos are considering LTE (FDD) as it is true broadband and it has the same 3 technology roots and pillars of WiMax conforming to ITU's recognized standards i.e. 802.16e and 802.16m i.e IP, OFDMA, and MIMO.

WiMax is the father of LTE as it had all 4G features such as IP, MIMO and OFDMA and TDD access.

Qualcomm announcing TD LTE interest is a way of their accepting that QCOM has lost out in the battle for supremacy for mobile Internet access and wireless broadband through their globally promoted campaign for “3G for broadband” and “LTE Rel 8 for wireless broadband”. I do not know how TD LTE can suddenly be promoted by Qualcomm as a suitable technology for broadband and that too in India only when their IPR focus is on LTE Rel.8 (FDD LTE) all over the globe.

It is rather strange for Qualcomm to promote TD LTE for introduction only in India when all over the globe Qualcomm has been promoting LTE Rel.8 (FDD).

India needs to adopt a mature, scalable and truly global technology like WiMax which is real 4G that has become a globally, affordable technology and has a robust eco system of 300 devices and 500 NWs and covering a population of 800 million all over the globe in APAC, Europe, USA and South America, Africa and the Middle East.

Indian Operators are mature enough to take wise decisions and they are rich enough with cash to bid and win the spectrum for BWA on WiMax.

I am concerned that this move by Qualcomm, if they emerge as winners in the bid, may result in the hoarding of precious spectrum. Thus India would lose an opportunity to serve 20 million subs on a slot of 20Mhz by 2012. India cannot afford losing such precious resource of spectrum for immature, untested and unproven technologies. India can ill afford that at this stage of economic growth.

All Indian operators have tested and trialed WiMax and they understand the potential of WiMax for broadband services growth in India.

Let India not be used as experimentation ground and in my view this is a bad intent to slow down the growth of broadband using wireless technology like WiMax.

Broadband alone would drive India towards a digital networked economy and make it most competitive nation.

Indian operators need to know this and act wisely for promoting the services for broadband on a mature technology and the government should be watchful against such bad intent of hoarding of spectrum for an immature and untested technology with no silicon support, no devices support etc..

(Sumber: CS Rao, Chairman, WiMax Forum)

Tuesday, November 30, 2010

YTL Communications dari Malaysia dengan brand "YES" dengan nilai investasi WiMAX 16e sebesar US$850 juta minggu lalu diresmikan pengoperasiannya. Layanan ini termasuk layanan jaringan VoIP nasional yg ter-interkoneksikan, 1.500 BTS yang menjangkau 65% penduduk, bebrapa perangkat, termasuk USB Dongle, modem rumah, WiFi HotSpot, dan ponsel Samsung. Tahun 2011 akan membangun lagi 1000 BTS untuk menjangkau 80% penduduk.

Tarif prabayar-nya adalah US0,03 untuk tiap menit pembicaraan, per berita SMS, dan Data per 3MB.

Strategi pemasarannya sangat menguntungkan pelanggan, sebab dengan tersedianya pipa Data WiMAX berkecepatan tinggi, maka pelanggan tidak di "cekik" salurannya seperti yg terjadi dengan 3G Indonesia, bila over-quota.

Kecepatan USB Dongle-nya dispesifikasikan sebesar 30 Mbps, jauh diatas 3G Indonesia. Inilah yang membedakan antara WiMAX dengan 3G, sebab teknologi mobile-nya merupakan loncatan teknologi baru, disebut pra-4G, karena kecepatan transmisinya belum mencapai 100 Mbps, sebab itu WiMAX 16e disebut sebagai WiMAX 1.0 (generasi ke-1).

Pada generasi ke dua (WiMAX 2.0) yang tidak lain adalah WiMAX 16m, maka kecepatan transmisinya mencapai 340 Mbps, yang backward compatibel dengan 16e.

Keuntungan dari WiMAX 16e adalah bahwa perangkatnya sudah tersedia dengan harga sebanding dengan 3G. Sedangkan LTE barangnya masih langka dan harganya sangat-sangat mahal, pertengahan tahu ini ada yg meng-quote modemnya seharga US 20.000,- (Rp 200 juta).

Makanya adalah langkah cerdas bagi Operator 3G Indonesia kalau juga menggelar jaringan WiMAX 16e untuk off-loading traffic Data 3G yang saat ini sangat tercekik, dengan akibat pelanggan tidak bisa memperoleh "real 3G experience", dengan dampak minimnya innovasi dan value added services yang dapat mengembangkan Broadband Economy Indonesia.

Keuntungan lainnya, kecepatan transmisi tinggi ini dicapai tanpa harus melakukan investasi CAPEX yang besar2 seperti kalau pakai HSPA+.

Berita lengkapnya ada dibawah ini.

John C. Tanner
| November 22, 2010
telecomasia.net
Thumbnail:
YTL Communications has become the fourth and final operator to join Malaysia’s Wimax party, unwrapping its “Yes” branded network on Friday.
YTL says it plans to spend $850 million on building out the network, which is more than two years behind the August 2008 launch deadline set by regulator MCMC.
Yes includes a fully-interconnected VoIP network, plus 1,500 base stations covering 65% of the population, and several devices including a dongle, a home modem, a Wi-Fi hot spot device and a Wimax handset from Samsung.
“We wanted to build a converged voice and data network, not just Wimax with a voice component, so for us, getting the technology right and the business model right was the most important thing,” said YTL Communications executive director Yeoh Seck Hong when asked about the delay.
The VoIP portion – part of an integrated web portal that also supports SMS, email and IM – assigns users a phone number with a 018 prefix. YTL said it had secured interconnect agreements with all local operators, to include international connectivity, to allow users to call anyone on or off the network.
While users can only send and receive calls via internet-enabled devices like PCs, laptops or tablets – or via the Samsung Wimax phone – they can also use the voice service anywhere in the world, as long as they can get a net connection.
Rival Wimax operator PacketOne also offers voice services to its customers, but only via its home modems.
Apart from the voice offering, Yes’ chief marketing points include no need for SIM cards (which allows customers to use multiple devices on the same account), an integrated billing platform that bundles all services into a single bill, and its cheap prepaid plan: 9 sen (almost 3 US cents) per voice minute, per SMS message and per every 3MB, as well as a 30% rebate for customers that download over 4GB a month.
“We don’t throttle users, we don’t set data caps, and we don’t lock you into 24-month contracts,” said YTL Communications CEO Wing K. Lee.
The operator is also claiming data speeds “3-5x faster” than 3G services in Malaysia, although executives declined to specify an actual speed.
The Wimax dongle specifies a peak speed of 30 Mbps. Actual speeds will depend on traffic congestion, but YTL Communications executive chairman Francis Yeoh said that “whatever the condition of usage on the network, we will be three to five times faster than 3G networks running under the same conditions.”
Yeoh also declined to reveal subscriber targets, saying only that pre-registration numbers were “beyond expectations”.
Lee said YTL Communications – which is investing around $800 million on its network – would deploy another 1,000 base stations to extend network coverage to 80% of the population by the end of 2011. YTL also plans to launch an IPTV service over Wimax using a hybrid video solution from Sezmi by the end of next year.
YTL Communications executives also declined to comment on whether they plan to stick with Wimax or migrate to rival technology TD-LTE in the near future.
Qualcomm struck an agreement with rival Wimax player AsiaSpace last month to explore TD-LTE.
All of the country’s Wimax and cellular operators have reportedly been assigned 20-MHz blocks of 2.6 GHz spectrum for LTE deployments starting in 2013.
Malaysia’s broadband penetration – including Wimax – currently stands at 54.5%, according to Malaysia’s Information, Communications, and Culture Ministry.

Monday, November 29, 2010

Kita beberapa bulan terakhir mendengan berbagai berita tentang peluncuran ujicoba jaringan LTE di berbagai negara maupun di Indonesia, namun baru 3 operator besar dunia yang berniat untuk meluncurkan LTE secara komersial, yaitu NTT DoCoMo, Verizon Wireless dan TeliaSonera.

Ini karena biaya investasi jaringan LTE dan modemnya masih sangat mahal. Sebagai contoh, pada bulan November 2010 yang lalu operator CSL dari Hongkong menjadi operator pertama yang membangun jaringan LTE di Asia. Jaringan ini merupakan upgrade dari jaringan HSPA+ dengan menambahkan perangkat LTE, sehingga pancaran BTS dari jaringan ini ada dua radiasi, yaitu HSPA+ dan LTE dalam satu sel seluler.

Walaupun sudah ada radiasi sinyal LTE, namun ini masih dalam tahap pengembangan, sebab belum ada perangkat modem LTE yang cukup murah untuk dijual kepada pelanggan. Pada sebuah seminar LTE yang diselenggarakan oleh Nokia-Siemens Network (NSN) di Jakarta pada bulam Mei 2010 yang lalu, diberitahukan bahwa contoh modem LTE yang ada berharga US$20.000,- atau Rp 200-juta, karena memang baru diproduksi satu atau dua buah saja.

Kebutuhan akan saluran transmisi data berkecepatan tinggi di negara-negara maju maupun Indonesia memang terus meningkat, walaupun margin keuntungan para Operator Telekomunikasi makin lama makin mengecil. Sampai kapan hal ini akan diakhiri? Akankah kita harus menunggu para operator itu bangkrut?

Beberapa bulan yang lalu 3 Operator besar Indonesia mengumumkan bahwa mereka telah membangun jaringan HSPA+ dengan kecepatan transmisi puncak sebesar 42 Mbps.
Untuk ini diperlukan 2 (dua) pita 5 MHz untuk meningkatkan kecepatan transmisi dari system sebelumnya yaitu HSPA dengan kecepatan transmisi puncak sebesar 21 Mbps, dikalikan dua untuk menjadi 42 Mbps. Akibatnya tiap operator butuh 3 buah pita 5 Mhz, sebab yang satu pita 5 MHz diperlukan untuk transmis suara.

Namun saya kaget ketika seorang executive Operator menyatakan bahwa belum ada modem yang dijual bagi HSPA+. Kalaupun ada, maka harganya adalah sekitar $3.500,- atau Rp 35-juta. Siapakah diantara pelanggan Indonesia yang mampu beli, hanya untuk mendapatkan kecepatan transmisi data puncak sebesar 42 Mbps? Belum lagi kalau pelanggan yang memakai pada saat yang sama lebih dari satu (concurrent users), misalnya ada dua orang, maka otomatis kecepatan transmisinya akan turun setengahnya, atau menjadi 21 Mbps. Kalau ada 10 orang, maka kecepatannya turun menjadi 4,2 Mbps....

Karena meningkatnya kebutuhan akan kecepatan transmisi data yang tingg itu, maka para operator telekomunikasi berupaya keras untuk memenuhinya, padahal sistem WCDMA sebagai sistem Mobile generasi ke-3 (3G) itu dirancang utamanya untuk layanan Voice dan SMS. Upgrading yang dilakukan dengan sistem HSDPA, HSPA dan HSPA+ adalah untuk menampung kebutuhan akan transmisi data dari pelanggan.

Memang solusi tepat bagi kebutuhan pelanggan masa depan adalah dengan meluncurkan LTE tersebut diatas, yang berbasiskan loncatan teknologi baru, yaitu teknologi Orthogonal Frequency Division Multiple Acces (OFDMA), dimana dibutuhkan pita2 prekwensi yang saling berdekatan lokasinya, bukan yang terpisah-pisah seperti yang ada saat ini, karena implementasi LTE yang sudah siap adalah FDD-LTE (Frequency Division Domain LTE), Sedangkan untuk lokasi pita frekwensi yang terpisah-pisah seperti yang dibutuhkan Indonesia hanya bisa dilakukan oleh sistem TDD-LTE (Time Division Domain LTE) yang baru akan dibuat sekitar 2-3 tahun mnendatang. Teknologi OFDMA lebih dahulu dipakai sebagai teknologi untuk sistem WiMAX 802.16e (WiMAX versi 1.0) dan WiMAX 802.16m (WiMAX versi 2.0)

Jadi bagaimanakah sulusi yang tepat bagi Indonesia dalam menghadapi kebutuhan akan transmis data yang makin lama makin besar, dengan profit margin yang makin menipis karena mahalnya CAPEX perangkat yang diperlukan?

Tunggulah posting saya berikutnjya.
Silahkan ditanggapi dan semoga bermanfaat bagi kemajuan bangsa dan negara.

------ refeensi dari Telecomasia.net --------

The LTE PR juggernaut is running on all cylinders, with several LTE networks already in commercial service (albeit on a limited basis), and more expected to go online before the end of this year. In fact, the 3GPP says that 22 operators will have launched LTE by year-end which is an eye-catching number, considering that this time last year, only three major operators NTT DoCoMo, Verizon Wireless and TeliaSonera had definite plans to launch LTE services before the end of 2010.

There is still plenty of skepticism about the business case for rolling out LTE that early, if only because of the paucity of devices. Voice-centric LTE handsets are still two years away, according to Ovum's consulting director for Asia Pacific, CW Cheung, making LTE a data-only proposition for those launching now.

But the rollouts are happening now, and more and more trials are being announced. Perhaps more tellingly, the discussion around LTE is shifting away from technical capabilities and data speeds (which are currently within expectations, according to LSTI) towards the practical issues of deployment, and - more to the point - how much it's going to cost operators to roll it out.

The answer will vary from cellco to cellco, of course, but one clear trend is that LTE raises some serious challenges to the old way of deploying cellular networks - i.e. macro cells with wide-area coverage. Even discounting the fact that most LTE networks will be running initially in the 2.6-GHz band, which means shorter ranges by default, LTE cells will be smaller than ever, putting a premium on cell capacity over coverage. That's already having an impact on base station design (and for the better, by most accounts) but it also potentially means a lot of extra deployment costs for cellcos - unless they deploy LTE in strategic islands.

No more macros

The reason LTE requires smaller cells, says Dr Shahram G Niri, director of global LTE/SAE strategy and solutions for NEC Europe, is that the escalating growth of mobile data usage is emphasizing the need for maximizing capacity per cell, which in the 3G world means spectrum reuse.

"Even today, 3G cells are down to a few hundred meters or even a hundred meters in some cases, when it was supposed to be kilometers," he told Wireless Asia. "That's because we're learned that of all the techniques we've come up with to increase capacity and the spectral efficiency, the biggest gains we're had was from reusing the frequency, which means we can reuse the same frequency everywhere, but that means smaller cells."

The same applies to LTE, even with the wider spectrum bands being allocated for it, he adds. "With LTE, the spectrum we have will not be enough to accommodate the growth of data traffic that we're seeing."

Bjorn Amundsen, VP and director head of mobile network coverage for Telenor, says his company has reached the same conclusion in its home country of Norway.

"Even just for 2G and 3G, in the inner circle of Oslo we have a base station every 50 to 100 meters today," he says. "Looking ahead two or three years to LTE, you'll need a base station probably in every building or every second building. That's going to be a huge cost."

Site acquisition costs

With operators - particularly the ones that blew billions on 3G ten years ago - more cost-conscious than ever when it comes to network upgrades, equipment vendors have been redesigning base stations that are smaller and cheaper, as well as cheaper to run thanks to lower power consumption. But while that's a welcome development, says Amundsen, the gear is just one part of the cost of a given site.

"The biggest issue for us in rolling out LTE isn't the cost of the base station, which is the cheapest it's ever been and getting lower and lower. The real cost to us is installing the equipment into buildings," he says. "That's not getting lower that's increasing enormously. And in Norway at least, the cost of installing power to the base station is extremely expensive if you look outside the cities, up to $100,000 per km to get the power supply to the base station."

That's why Telenor's 3G coverage covers 80% of the population but only 23% of the land area, he notes.

Adding to the cost of LTE is the fact that for most operators, it't essentially another RAN overlay, says Niri of NEC.

"Actually many of these operators are running 2G and 3G already, and now we have 4G - it's difficult enough to run two networks, let alone three," Niri says. "Previously, the common belief was that 2G would be switched off somewhere around 2010 or 2012, but with the exception of Japan, we're now being proved wrong. 2G is going to be around for a long, long time. So any third network we introduce has to be simple to run and cheap to run."

Smaller form factors

Which is why vendors like NEC are advising a different approach to LTE forget macro cells and ubiquitous coverage, and focus on key congestion areas with RAN gear tailored to the purpose.

'We're telling customers to not to do macro anymore,' Niri says. They don't need to be everywhere - that's been proved with 3G -' and a macro network can provide the coverage they need but not the capacity. You need small cells, and that means you can't use the same platform as before - you need tailored equipment that's more compact, lightweight, easy to install and easy to manage."

Those kinds of requirements are driving a new approach to base station design that takes the headaches of site acquisition into account by essentially enabling them to be installed anywhere, says Joachim Hallwachs, marketing VP for DesignArt Networks.

"LTE will require ten times more cell locations than 3G, and that can't be done with the existing cost model," he says. "Is base stations get smaller, operators will be looking to acquire sites wherever they can get them, including rooftops, traffic lights and street lamps."

Consequently, Hallwachs says, operators need low-cost installation in a commercially viable site, which means it can't require lots of construction or come with high lease costs. We're seeing distributed base stations with remote radio heads and centralized baseband units, which lowers the footprint. But it's still actively cooled, and you need a shelter for it. What you really need is extremely compact gear with minimal power consumption, passive cooling, and no need for a shelter."

Hallwachs also distinguishes between femtocells - often touted as an offload solution to help cellcos manage spectrum capacity - and carrier-class base stations creating smaller cells. "The sites we're talking about will have to be software upgradeable, support remote management, and other things not associated with femtocells."

They'll also require technologies like SON (self organizing networks) with full automation, and wireless backhaul, says Hallwachs. "Wireless backhaul will be mandatory, but line-of-sight [LOS] wireless backhaul will no longer be feasible in this rollout scenario, so you need non-LOS technology."

Actually getting the base station essentials in pole-mounted form will require squeezing all base station functionality into a single box - something that DesignArt says it's enabling with its SoC (system on a chip) solution, which not only means a smaller form factor, but also one that can run on passive cooling.

"What used to be a roomful of computer equipment now fits in my hand,"he says, holding up a smartphone. "Why can't we do the same with a base station?"

Vendors are already moving in that direction, albeit from different directions. Smaller footprints and passive cooling, for example, has been addressed by vendors developing base stations for rural areas off the main power grid with the aim of making them easier to install without the need for air-conditioned shelters.

Vendors like Alcatel-Lucent are also working towards getting base stations small enough for ad hoc installation, says Philippe Poggianti, Alcatel-Lucent's VP of LTE.

'By 2012, maybe, you will see antenna panels the size of an A3 sheet of paper and around 15cm thick that can be mounted on lampposts,' Poggianti says.

Islands of LTE

However, there's still some debate over whether all this will make LTE more expensive to roll out than operators initially imagined 'particularly given LTE's initial promise of cost savings via better spectral efficiency and the flatter all-IP architecture behind the base stations. Whatever their size or the cost of installation, more sites could add up to bigger expenses, particularly once backhaul is figured into the equation (see "Thorough planning needed for 4G backhaul," as well as this issue's feature, "Rethinking the backhaul").

Enyen Cheong, APAC marketing manager for test and measurement at JDSU, argues that the economics of LTE still make more sense when looking at the total cost of ownership. "It's not just the RAN sites, but also the flat IP architecture, Ethernet backhaul and related opex savings."

Christian Daignault, chief technology officer of CSL - which has already deployed its LTE network on top of a revamped all-IP network - insists that the business case for LTE is its opex efficiency gains in the longer term.

"If you don't deploy LTE, eventually your network will cost a lot more to run as your traffic grows,"he says.

However, CSL is also picking and choosing where to deploy LTE - which is to say, in the hot-spot areas where traffic congestion is highest, with a fallback option of Dual Cell HSPA+ (see "CSL's 4G network is ready, awaiting devices" for details).

In other words, the secret to deploying LTE cost-effectively may be to forsake the old macro model and create selective islands of LTE.

That's how Telenor is doing it, says Bjorn Amundsen. "We are actually making a business case for every single base station we are building in the cities. It's the only way we can do it."

Amundsen offers an example of how it works: "If you're a customer and you come to me and say you need indoor coverage, and your business depends on it, I would say if you sign an agreement with Telenor for 12 months or two years, or whatever, we can build that indoor station. And if you're the owner of the building I will ask for you to let me stay free of charge. If you can do that, I can build it and we can start tomorrow. If you're not the owner, I must balance it and look at the income and the cost, and if I can make money I'll do it, but if I'll lose money, I won't."

Whenever talk arises about mobile networks, it immediately turns to 4G connectivity. All the major carriers are thinking about it in one way or another and before too long, a majority of mobile customers—both consumers and enterprise users—will be accessing 4G service to surf the Web, check e-mail, perform daily tasks and much more. Simply put, the 4G evolution is under way.

Exactly what that means for the average company is something that most firms are probably thinking about. After all, Sprint has been doubling down on the technology for months now and with Verizon expecting to have 38 cities supporting its 4G service by year's end, the decision to either wait for more rollouts or access 4G now is something that businesses will make sooner rather than later. Here's why 4G is the future of the enterprise.

1. It has speed on its side

The obvious benefit of 4G is that it can potentially deliver more speed than 3G networks currently available to companies. According to Verizon, for example, its 4G network can offer speeds between 1M bps and 12M bps. That's a sizable increase over anything enterprise customers are using now to access the Web from a mobile network. And considering speed will only help companies, it seems that 4G is the way to go for most firms.

2. The carriers see value in it

It would be hard to say that 4G is the future if all the major carriers weren't behind it. After all, if Sprint were leading that charge and AT&T and Verizon didn't see value in it, few companies would care. But all the major carriers are getting behind 4G. That's important. If the carriers see value in it and they push vendors to support 4G technology in their devices, it won't be long before the enterprise benefits.

3. Build 4G and the customers will come

As noted, Verizon plans to make its 4G service available in 38 cities around the United States by the end of 2010. Going forward, that number will likely rise exponentially as the company continues to invest in the technology. That's a good thing for all stakeholders. It means that as more cities are supported, the likelihood of companies jumping on the 4G bandwagon will only increase over time.

4. It will make 3G obsolete

Most companies invest in 3G technology right now, either through their smartphone data plans or via plans available for other mobile devices. But as 4G becomes more readily available around the country, companies will have no choice but to adopt the new technology. Carriers will make 3G obsolete, and the last thing companies should want to do is stick with an out-of-date technology.

5. It's about productivity

When it comes time for a company to make a decision, productivity must play a key role. If something increases productivity and it's available for the right price, it makes sense. If not, it doesn't. 4G will likely make sense on all those fronts. With Sprint's Evo 4G, for example, the company charges customers a $10 per month "premium data add-on" in addition to the plan they choose. Considering the cheapest business option is $59.99, including minutes, that's not such a bad deal, especially considering what customers get for it.

6. High-speed mobility is the future

Years ago, having employees tied to a desktop or notebook was the standard paradigm in the enterprise. But as smartphones have become more useful and high-speed connections have become more ubiquitous, companies and their workforces have become more mobile with devices that are smaller and faster than ever. The advent of 4G will only encourage enterprises to develop more powerful mobile business applications to make their employees more productive and to connect with their highly mobile customers.

7. Apple is serious about it

Apple isn't the most enterprise-focused company in the technology industry. However, its iPhone and iPad are quickly becoming favorites of business users and companies around the world. And Apple seems very interested in 4G. In fact, Verizon Wireless told the Wall Street Journal in a recent interview that Apple has interest in the carrier's 4G network. That's important. If Apple supports the technology, it won't take long for the competition to follow.

8. There might be no choice

Eventually, there might be no choice but to deploy 4G in the enterprise. The reason why is simple: Carriers want to see their customers switch to 4G, vendors are happy with it, and most IT decision-makers see value in it. When all those elements are combined, it quickly becomes clear that migrating to 4G when it becomes available in a company's area will be an essential step forward, rather than a difficult decision to make.

9. There won't be many other viable options

As of this writing, 4G seems to be the next logical step in the availability of mobile networking. There are simply no other options currently available that can match 4G in terms of its ability to combine availability and speed. That's important for companies to consider as they determine whether 4G really is the way to go.

10. It's what's needed in the marketplace

As more and more people go mobile to perform their daily tasks, they want the ability to do more with the Web connectivity made available to them. The best connectivity option will soon become 4G. Although it's in its infancy and there are many pitfalls that it can hit along the way, it just seems that 4G can't come soon enough. And when it does become the dominant mobile service, we'll wonder why we had to work without it for so long.

Thursday, November 25, 2010

Hong Kong's CSL has joined the LTE club with the launch of Asia's first commercial LTE service.
However, the launch is in name only. It gives the Telstra-owned cellco a jump on its rivals, but because of a lack of devices CSL is offering the service only to corporate customers who took part in trials.
CMO Mark Liversidge told telecomasia.net that it has only a small number of dongles from ZTE and Samsung. Service to consumers won’t start until Q1 2011.
At a ceremony that included Telstra boss David Thodey and ZTE chairman Hou Weigui, CSL yesterday unveiled a network covering 50% of the city's 7 million population and promising download speeds up to four times faster than HSPA+.
It says the upgraded network is world's first dual cell (DC) LTE/HSPA+ network – an official 3GPP standard.
The launch follows three years of network planning and restructure by the operator. It replaced its long-term vendor Nokia Siemens with ZTE and converted its 3G/HSPA network into the world's first all-IP 3.5G network.
Since launch of the all-IP network in March 2009, mobile data traffic has increased 65 times, but operating cost has remained flat, the company says.
CSL CEO Joseph O'Konek said this was because of the IP configuration as well as the ability to shift between the 900MHz, 1800MHz, and 2600MHz bands using software-defined radio.
The network is also a global showcase for ZTE as its first commercial LTE network.
The Shenzhen-based vendor is competing against Huawei, Ericsson and Nokia Siemens for Telstra LTE contracts.

Wednesday, November 24, 2010

WiMAX Release 2 on track to be first IMT-Advanced technology on the market

Portland, OR – Oct. 20, 2010 – The WiMAX Forum today recognizes the decision within the International Telecommunication Union (ITU) approving the “WirelessMAN-Advanced” technology of IEEE 802.16m as an IMT-Advanced technology. One year ago, the WiMAX Forum and 50 leading ecosystem players announced the endorsement of IEEE’s submission to ITU-R proposing an IEEE 802.16m-based candidate for IMT-Advanced. Today’s unanimous agreement solidifies the strong consensus that has developed around the technology, indicative of its anticipated acceptance.

The key decision, taken by ITU-R’s Working Party 5D (WP 5D) at the conclusion of its meeting of 13-20 October in Chongqing, China, followed a rigorous evaluation and consensus-building process after the introduction of detailed technical proposals in October 2009, including consideration of exhaustive evaluation reports from nine expert groups from around the world. WirelessMAN-Advanced represents a group of three proposals, of which two (one by the Administration of Japan and one by Korea’s TTA) were considered technically identical to that of IEEE. During the meeting, WP 5D accepted an offer from the three parties to have IEEE complete and submit the full detailed specification of the technology at the following WP 5D meeting in April 2011. WirelessMAN-Advanced and LTE-Advanced were the only two technologies approved for IMT-Advanced.

In parallel with the finalization of IEEE 802.16m, the WiMAX Forum and its members are working to complete the detailed specification of WiMAX Release 2, which will take advantage of the new IEEE standard and ensure that WiMAX Release 2 networks and devices will offer capabilities and efficiencies to exceed the baseline IMT-Advanced requirements. WiMAX Release 2 will incorporate these capabilities while offering improved VoIP capacity, spectral efficiency, latency, handover speed, cell range, and coverage -- with support for wider operating bandwidth in both TDD and FDD modes.

“WiMAX is a commercially proven technology with a vibrant ecosystem. Our industry is ready to make WiMAX Release 2 a strong option for networks requiring IMT-Advanced capabilities,” said Ron Resnick, president and chairman of the WiMAX Forum. “We have remained focused on bringing WiMAX Certified Release 2 networks and devices to market as quickly as possible, and today’s decision within the ITU further reinforces our confidence. This decision and the WiMAX industry’s commitment to Release 2, with all its benefits, should be of particular relevance to Indian Service Providers determining which technology options will best meet India’s broadband data requirements.”

The ITU’s IMT-Advanced requirements demand candidate technologies that will provide groundbreaking speeds, and IEEE 802.16m delivers. WirelessMAN-Advanced exceeds the requirements, offering as much as 180 Mbit/s of aggregate downlink throughput per site using a 20 MHz TDD channel in ITU’s real-world microcellular system model, with further support for nearly 2500 VoIP users per site. Depending on design goals, antenna configurations, and spectrum availability, significantly higher dates rates can be enabled.

“The IMT-Advanced requirements look to satisfy the booming mobile broadband demands of the next decade. Those farsighted requirements push technology beyond all current limits,” said Dr. Roger B. Marks, vice president for technology with the WiMAX Forum. “Fortunately, WiMAX Release 1 is built on a flexible framework that allows for the introduction of countless new innovations with maintaining legacy support. Hundreds of the world’s top technical experts have been perfecting the open IEEE 802.16m draft standard since 2006. WirelessMAN-Advanced provides the ideal technology foundation for the WiMAX Forum to quickly bring the backward-compatible WiMAX Release 2 to the market.”

The WiMAX Forum's membership base is strong, representing a thriving WiMAX ecosystem that supports nearly 600 WiMAX network deployments in 149 countries. A complete list of members is available online at www.wimaxforum.org/about/. To learn more about WiMAX Forum Certified products visit the WiMAX Forum Certified registry at www.wimaxforum.org.

About the WiMAX Forum®

The WiMAX Forum® is an industry-led, not-for-profit organization formed to certify and promote the compatibility and interoperability of broadband wireless products based upon IEEE Standard 802.16. A WiMAX Forum goal is to accelerate the introduction of these systems into the marketplace. WiMAX Forum Certified products are interoperable and support broadband fixed, nomadic, portable and mobile services. The WiMAX Forum works closely with service providers and regulators to ensure that WiMAX Forum Certified systems meet customer and government requirements. Through the WiMAX Forum Congress Events Series of global trade shows and events, the WiMAX Forum is committed to furthering education, training and collaboration to expand the reach of the WiMAX ecosystem. For more information, visit the trade show link at http://www.wimaxforum.org.

;;