MP3 Clips

Thursday, December 2, 2010

Pemain 3G Sudah Tak Sabar

Selasa, 30 Nopember 2010

Dibukanya wacana menerapkan teknologi netral di spektrum 2,3 GHz seolah-olah merupakan oase bagi pemain 3G yang sudah tak sabar menerapkan Long Term Evolution (LTE) di Indonesia. LTE adalah lanjutan dari teknologi seluler generasi ketiga (3G) setelah high speed downlink packet access (HSDPA) dan HSPA+. Inovasi ini memberikan tingkat kapasitas downlink sedikitnya 100 Mbps dan uplink paling sedikit 50 Mbps.

Spektrum yang ideal untuk LTE adalah di 700 MHZ dan 2,6 GHz dengan lebar pita 20 MHz. Namun, LTE juga bisa berjalan di 1.800 MHz atau 2,3 GHz. Operator yang sudah tak sabar menggelar LTE adalah Telkomsel, Indosat, dan XL. Sekjen Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI) Dian Siswarini menyambut gembira langkah yang diambil oleh pemerintah.

“Sudah tepat kebijakan yang diambil pemerintah menetapkan teknologi netral di 2,3 GHz karena frekuensi adalah sumber daya utama yang tidak boleh disia-siakan. Para pemain 3G akan semangat ikut tender nantinya,” ungkapnya kepada Koran Jakarta, Senin (29/11). Senior Director and Country Manager Qualcomm Indonesia Harry K Nugraha mengungkapkan jika pilihan dijatuhkan di 2,3 GHz untuk LTE, Indonesia akan mengembangkan Time Duplex LTE (TDD-LTE) seperti di China dan India.

“Sebagai pengembang teknologi, kami meyakini inovasi seluler memunyai skala ekonomi yang lebih besar. Pemilihan teknologi netral adalah jalan terbaik karena industri yang menentukan mana inovasi yang cocok bagi bisnisnya,” tegasnya. Menurutnya, penerapan TD-LTE tetap akan menjadikan Indonesia seksi bagi vendor global karena chipset yang digunakan multiteknologi, yakni FDD-LTE, Evolution Data Only (EVDO), dan HSDPA.

“Itu untuk memudahkan jika mau roaming ke luar negeri,” katanya. Dia menegaskan Qualcomm siap mengembangkan industri lokal dalam mendukung LTE, terutama berkaitan dengan konten. “Ini salah satu sektor yang bisa membuat Indonesia bisa berkembang jauh lebih cepat. Kalau bicara manufaktur, masalahnya tidak sesederhana di R&D dan pabrik.

Ada isu distribusi, produk, lifecycle, impor suku cadang, dan lainnya.” CEO Xirka Silicon Technology Sylvia W Sumarlin mengungkapkan, hingga sekarang, belum ada penetapan spektrum ideal untuk LTE. “Baru ada dijalankan di bawah 2 atau di atas 2,5 GHz. Kalau enam vendor besar dunia belum memulai produksi massal perangkat LTE, ini mengindikasikan belum ada kesepahaman atas frekuensi rujukannya,” tegasnya.

Sylvia mengingatkan, jika LTE dipaksakan diimplementasi di 2,3 GHz, sama saja Indonesia menghidupi satu vendor global. “Mari kita lihat vendor di China yang justru sedang mengembangkan perangkat untuk spektrum 1,8GHz dan 2,5 GHz. Ini artinya mereka tahu pasarnya ada di sana. Jika Indonesia memaksakan di 2,3 GHz untuk LTE, artinya mengulangi kesalahan dengan memilih Wimax 16d yang membuat negara ini aneh sendiri,” tegasnya.

Ketua Bidang Teknologi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Taufi k Hasan mengakui spektrum 2,3 GHz secara profi l lebih dekat ke Wimax. “LTE lebih cocok di 2,6 GHz karena ada kaitannya dengan roaming dan skala ekonomi. Jika dipaksakan di 2,3 GHz, untuk roaming bisa menggunakan terminal multiband multimode, tetapi mahal sekali,” jelasnya.

Taufik menjelaskan TD-LTE dikembangkan dari TD-SCDMA di China yang roadmap-nya sama dengan 3GPP. Teknologi ini dipakai di Amerika Serikat dan sebagian Eropa. Namun, TDLTE yang berjalan di 2,3 GHz hanya ada di China dan India. “Kalau ingin manufaktur lokal mengembangkan perangkat LTE 2,3 GHz akan susah. Tantangannya lebih berat ketimbang mengembangkan Wimax 16e di 2,3 GHz.”
dni/E-5 (sumber: Koran Jakarta)



Bagikan

0 comments:

Post a Comment