MP3 Clips

Thursday, December 2, 2010

Kompromi untuk Standardisasi

Selasa, 30 Nopember 2010
Teknologi WiMAX , Operator Meminta Perlakuan yang Sama

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) akhirnya membentuk tim ad hoc untuk menyelesaikan kisruh pilihan standardisasi di frekuensi 2,3 GHz. Tim ad hoc ditugaskan untuk mengevaluasi penggunaan sisa pita yang tersedia sebanyak 60 MHz untuk penggunaan teknologi netral kala dilakukan lelang tahun depan. Pemilihan teknologi netral berarti pemberian izin tidak dikaitkan dengan satu inovasi.

Industri memiliki hak untuk memilih. Di frekuensi 2,3 GHz, tengah terjadi tarik-menarik standar antara pemegang lisensi Broadband Wireless Access (BWA) yang telah mendapatkan alokasi pita sebesar 30 MHz dengan pemerintah. Para pemenang mendesak pemerintah merevisi surat Keputusan Dirjen Postel No 94, 95, dan 96/2008 mengenai batasan kanalisasi.

Regulasi itu mengatur pembatasan channel bandwidth sebesar 3,5 MHz dan 7 MHz yang dalam istilah teknis mengacu pada standar Worldwide interoperability for Microwave Access (WiMAX) IEEE 802.16d-2004 (16 d) untuk Fixed atau Nomadic Wimax. Pemenang meminta direvisi menjadi 5 MHz dan 10 MHz yang identik dengan IEEE 802.16e-2005 (16 e). Dampak dari tarik-menarik ini, tidak ada satu pun hingga sekarang dari delapan pemenang yang menggelar layanan komersial.

“Saya sudah membentuk tim ad hoc untuk membahas kisruh di 2,3 GHz yang akan bekerja sebulan ini membahas tentang lelang sisa pita sebesar 60 Mhz digunakan untuk teknologi netral. Sedangkan untuk alokasi 30 MHz yang telah ada pemenangnya tak akan diubah standarnya, tetap 16 d,” tegas PLT Dirjen Postel M Budi Setyawan kepada Koran Jakarta.

Dia menjelaskan pihaknya tidak bisa meloloskan keinginan para pemenang tender untuk mengubah regulasi tentang kanalisasi karena akan memperumit masalah. “Saya tidak mau kala Long Term Evolution (LTE) masuk tahun depan menjadi masalah lagi.

Baiknya dipilih saja teknologi netral di sisa pita 2,3 GHz karena spektrum itu bisa digunakan untuk wimax standar d atau e, bahkan LTE,” jelasnya. Langkah Postel tidak merevisi regulasi itu bisa dimaklumi karena menurut Peraturan Pemerintah (PP) No 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit dalam Pasal 27, pelaksanaan realokasi frekuensi radio harus memberi tahu pemegang izin dua tahun sebelum penetapan.

Artinya, jika merujuk pada regulasi ini, tentunya pengubahan standar akan membuat komersialisasi Wimax semakin lama. Seandainya dipaksakan pun pengubahan standar bisa dianggap melanggar PerPres 54/2010 tentang pengadaan barang dan jasa karena dianggap telah terjadi post bidding.

Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang juga masuk Tim Ad Hoc, Nonot Harsono, mengungkapkan yang dibahas antara lain masalah iklim kompetisi, jumlah operator di level akses, dan core network. “Kami juga memiliki pelajaran dari lelang dua tahun lalu di mana harga frekuensi bisa melonjak tajam.

Bisa dibayangkan untuk 60 MHz akan terjadi pertempuran antara pemain Wimax dan 3G, harga frekuensi bisa melonjak tinggi dari penawaran dasar. Dampak sosial ekonominya menjadi perhatian,” tegasnya.

Perlakuan Sama

Operator yang menjadi pemenang dalam tender dua tahun lalu meminta pemerintah menerapkan perlakuan sama, yakni penggunaan teknologi netral di pita 30 MHz. “Wacana adanya lelang untuk 60 MHz itu bagus, tetapi kami minta di 30 MHz diberlakukan juga teknologi netral,” ungkap GM Pengembangan Bisnis First Media Hermanuddin.

VP Public Relations and Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia mengatakan perseroan pasti akan memanfatkan semua peluang yang ditawarkan pemerintah untuk memperkuat bisnis perseroan secara grup. “Kami pun meminta pemerintah memberikan kemudahan sebagai pemenang di 2,3 GHz dua tahun lalu untuk memilih standar karena semua kewajiban kepada negara sudah dipenuhi,” katanya.

CEO Xirka Silicon Technology Sylvia W Sumarlin menilai kebijakan pemerintah menetapkan teknologi netral lebih pada membuka jalan masuknya standar Wimax 16e. “Kebijakan itu langkah yang tepat agar pengembangan Wimax bisa tercapai dengan segera.

Kebijakan ini seharusnya juga berlaku bagi 8 operator yang menjadi pemenang dua tahun lalu agar ada kelangsungan operasi, tidak kesulitan mencari suku cadang, dan memunyai kesempatan untuk mendorong aplikasi canggih yang hanya bisa dilakukan di 16e,” jelasnya.

Menurutnya, teknologi netral adalah pemilihan inovasi, yakni profi l atau standar yang diterapkan adalah netral. Jadi, dalam hal ini, untuk 2,3 GHz, teknologi pilihan adalah Wimax yang standarnya bisa langsung ke 16e yang kemudian bisa dinaikkan ke mobile tanpa adanya regulasi baru. “Ini sama dengan jalan tol ditetapkan standarnya untuk kendaraan roda empat.

Masalah merek mobil yang lewat, pemerintah tidak peduli. Jadi, netral di sini bukan semua kendaraan dari roda dua hingga empat,” tuturnya. Komisaris PT INTI Johnny Swandi Sjam pun mendukung pemberlakuan teknologi netral untuk semua pemain di 2,3 GHz, baik pemain lama maupun baru, karena industri dalam negeri sudah siap memproduksi perangkat wimax standar 16 e.

“Chipset sudah ada Xirka. Jika sekarang dibuka, industri dalam negeri bisa berkembang manufakturnya karena potensi permintaan sedang tinggi,” jelasnya. Sementara itu, Komisaris Teknologi Riset Global (TRG) Sakti Wahyu Trenggono mengaku tidak keberatan dengan teknologi netral untuk sisa pita di 2,3Ghz, asalkan masalah Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tetap diberlakukan sama dengan Wimax standar 16 d.

“Kami minta perlakuan sama. Soalnya kami sudah investasi puluhan miliar rupiah untuk membangun ekosistem 16d. Belum lagi pabrik yang akan beroperasi mulai tahun depan,” tegasnya. Ketua Bidang Teknologi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Taufik Hasan memperkirakan tsunami teknologi akan terjadi jika 16e dibuka tanpa persiapan matang.

“Ekosistem standar ini di luar negeri lebih kuat ketimbang manufaktur lokal yang sedang infant. Jika lelang dilakukan tahun depan, yang akan memakan waktu enam bulan, saya perkirakan cukup mematangkan manufaktur lokal,” katanya.
dni/E-5 (sumber: Koran Jakarta)

0 comments:

Post a Comment