Kejaksaan AS mendakwa tujuh orang pelaku kejahatan dunia maya yang telah membobol jutaan situs internet di seluruh dunia untuk kegiatan kriminal.
Dakwaan yang dibacakan di New York, Rabu (9/11) waktu setempat itu, menyebutkan keuntungan yang diraup para pelaku mencapai sedikitnya $14 juta.
Dari tujuh tersangka, satu orang Rusia masih dinyatakan buron, sementara enam orang lainnya merupakan warga Estonia yang segera diekstradisi.
Mereka didakwa melakukan penipuan dengan cara membuat perusahaan palsu yang diiklankan di sebuah situs internet.
"Tanpa pengetahuan atau izin pengguna komputer, terdakwa membobolnya untuk kegiatan penipuan mereka," kata jaksa dalam dakwaannya.
Dari situs resmi milik perusahaan orang lain itu, para peretas (hacker) ini kemudian melakukan penipuan, dengan membobol sekitar empat juta situs internet di lebih dari 100 negara.
Dalam surat dakwaan itu terungkap ada 500.000 situs internet di AS yang berhasil dibobol oleh para terdakwa, termasuk beberapa diantaranya milik lembaga pendidikan, kelompok nirlaba dan lembaga pemerintah seperti NASA.
Labels: diproswes hukum, Pembobol Situs Internet
September 15 2011
| Subscriptions | Market Share |
All Wireless Technologies | 5.7 Billion | 100% |
3GPP Technologies (GSM, UMTS-HSPA, LTE) | 5.1 Billion | 89% |
→GSM | 4.3 Billion | 76% |
→UMTS-HSPA | 756 Million | 13% |
→LTE | 2 Million | <1% |
3GPP2 Technologies (CDMA, EV-DO) | 543 Million | 10% |
All others (iDEN, TDMA, PDC, TD-SCDMA) | 56 Million | <1% |
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akhirnya menyerah dengan pilihan teknologi yang digunakan untuk spektrum 2,3 GHz, khususnya yang akan digunakan oleh operator pemenang tender broadband wireless access (BWA) tiga tahun lalu.
Jika sebelumnya, Kemenkominfo lebih memilih standar IEEE 802.16d-2004 untuk Fixed atau Nomadic Wimax dengan teknik modulasi Orthogonal Frequency Division Multiplex (OFDM) yang lebih dikenal dengan standar 16d.
Maka sekarang para pemenang tender dibebaskan memilih teknologi yang akan digunakan bisa standar 16d, IEEE 802.16e-2005 untuk Mobile Wimax dengan teknik modulasi Spatial Orthogonal Frequency Division Multiplex Access (SOFDMA) atau 16e, mobile wimax, bahkan Time Duplex Long Term Evolution (TD-LTE) sekalipun.
“Kami mencoba realistis dengan kondisi yang ada. Kita tidak bisa memasung pilihan teknologi yang akan digunakan. Jika terpasung dengan satu teknologi, kita khawatir tingkat penetrasi broadband di Indonesia tidak akan maju-maju,” ungkap Direktur Jenderal Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika Kemenkominfo Muhammad Budi Setyawan di Jakarta, belum lama ini.
Diungkapkannya, perubahan kebijakan itu akan dituangkan dalam peraturan pejabat direktur jenderal. “Kami telah berkonsultasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Hasilnya, kebijakan menggunakan teknologi netral ini tidak berdampak hukum terhadap hasil tender pada 2009. Tidak ada post bidding,” katanya.
Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono menambahkan, penerapan teknologi netral untuk sementara berlaku untuk alokasi di 2,3GHz dengan rentang 2360-2390 atau sebesar 30 MHz.
Menurut Nonot, penggunaan teknologi netral merujuk pada Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Dalam penjelasan poin D No 31, pemerintah mengarahkan pembangunan pos dan telematika menuju konvergensi dengan menerapkan teknologi netral yang responsif terhadap kebutuhan pasar dan industri.
“Teknologi yang terbuka akan menciptakan persaingan yang sehat antarpemain, dan menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi sumber daya lokal. Siklus perkembangan teknologi yang cepat juga harus diimbangi dengan regulasi yang mendukung,” ujarnya.
Dijelaskannya, syarat bagi operator pemenang tender BWA memilih teknologi netral harus bisa berinterperobility dan rela merogoh kocek untuk membayar price cap yang nantinya akan diumumkan pemerintah. Penentuan price cap akan dilakukan melalui konsultasi publik.
”Kita akan diskusi dengan lembaga terkait untuk menentukan price cap jika operator ada yang memilih teknologi netral. Harus diketahui, sejak dulu para KRT di BRTI mendorong dipakainya teknologi netral,” katanya.
Ditegaskannya, walau memilih teknologi netral, namun regulator tidak akan menyampingkan masalah penyerapan komponen lokal yang dikenal dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dari sisi penggunaan perangkat nantinya.
Diungkapkannya, dari diskusi yang ada terkait TKDN, pemerintah menimbang menggunakan standar di 16d dimana pemenang tender wajib memenuhi sebesar 30 persen bagi subscriber station (CPE) dan 40 persen untuk base station TKDN dalam proyek BWA. Selain itu juga diwajibkan meningkatkan penggunaan produksi perangkat telekomunikasi lokal hingga 50 persen dalam jangka waktu 5 tahun.
Untuk diketahui, sejak pengumuman tender pada 2009, layanan BWA dengan teknologi WiMAX 16d belum dikomersialisasikan oleh para pemenang tender walau kewajiban membayar up front fee dan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi dipenuhi.
Alasannya, pilihan teknologi yang ditetapkan oleh pemerintah tidak memenuhi skala ekonomis sehingga menyulitkan para operator. Padahal, berdasarkan dokumen tender, perusahaan pemenang tender harus melakukan komersialisasi layanan pada November 2010, yang bisa diperpanjang selama satu tahun hingga November 2011.
Berdasarkan hasil tender 2009, pemerintah menetapkan delapan perusahaan sebagai pemenang tender lisensi BWA. Tiga perusahaan kehilangan lisensi, karena tidak mampu membayar biaya up front fee dan BHP frekuensi tahun pertama senilai 70 miliar rupiah.
Saat ini tersisa lima perusahaan pemegang lisensi BWA, yakni PT Berca Hardayaperkasa, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), PT First Media (First Media), PT Indosat Mega Media (IM2), dan PT Jasnita Telekomindo. Masing-masing perusahaan mendapat kapasitas sebesar 30 MHz di setiap zona lisensi.
Sambut Gembira
Chairman Berca Group Murdaya Widyawimarta Poo menyambut gembira langkah dari pemerintah tersebut. ”Kami siap memenuhi keinginan pemerintah, baik soal harus adanya price cap atau TKDN,” katanya.
Diungkapkannya, perusahaan telah menyiapkan investasi hingga 500 juta dollar AS untuk memasarkan layanan WiMax dengan merek Wigo di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa Tenggara dengan pengadaan perangkat dari Xirka dan Panggung Electric Citrabuana.
Menurut Direktur IM2 Indar Atmanto kebijakan teknologi netral dalam pemanfaatan spektrum yang terbatas akan mampu meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam memanfaatkan teknologi.
Namun, ketika ditanya kesediaan membayar price cap, Indar menjawab secara diplomatis. ”Semua faktor akan menjadi pertimbangan termasuk ketentuan-ketentuan terkini yang berlaku. Dalam men-deploy layanan BWA kita selalu memastikan bahwa layanan yang akan dipasarkan dapat dinikmati masyarakat dengan harga yang terjangkau,” katanya.
Sementara Head Of Corporate Communication Affair Telkom Eddy Kurnia menolak keras rencana pemerintah tersebut karena bertentangan dengan hasil tender. “Kami menolak rencana pemerintah ini. Ini namanya memberikan ketidakpastian bagi berinvestasi. Jika dari awal ditetapkan teknologi netral, tentunya Telkom dalam ikut tender tiga tahun lalu strateginya tidak seperti kemarin,” ketusnya.
Secara terpisah, Praktisi telematika Hermanuddin menyarankan jika pemerintah konsisten ingin mengembangkan BWA, seharusnya tidak perlu lagi ada price cap karena sudah dibayar oleh pemenang tender kala lelang beberapa tahun lalu.
“Frekuensinya sudah ditetapkan fleksibel mau digunakan untuk teknologi apa saja. Sekarang harusnya bergantung kepada pengguna melihat mana yang lebih efisien dan ekonomis,” katanya.[dni]
Agustus 4, 2011 (Sumber: Doni Ismanto http://doniismanto.wordpress.com)
Labels: 3GHz, Kebijakan Teknologi Netral, Operator BWA, Spektrom 2
Labels: LTE di Taiwan, mundur ke tahun 2015
China Telecom | China Unicom | China Mobile | |
2011 | Net 3G (million) | Net 3G (million) | Net 3G (million) |
June | 1.87 | 1.855 | 3.029 |
May | 1.83 | 1.738 | 2.616 |
April | 1.47 | 1.817 | 2.39 |
TOTAL [Q2] | 5.17 | 5.41 | 8.035 |
March | 1.61 | 1.855 | 2.445 |
February | 1.12 | 1.213 | 1.914 |
Jan | 1.35 | 1.407 | 1.931 |
TOTAL [Q1] | 4.08 | 4.475 | 6.29 |
TOTAL [1H2011] | 9.25 | 16.177 | 23.005 |
In business school, where I teach, students are often predisposed to see legal concepts as impenetrable and foreign. I watch the lightbulbs go on as they see that Microsoft's antitrust woes, RIM's $600 million patent infringement settlement, and Galleon's downfall due to insider trading say as much about strategic judgment and application of analytical tools as the cases that they study in marketing, management or accounting. The most successful businesses understand the non-market environment in which they operate.
Network neutrality is another good example. Business executives should recognize that the contours of broadband Internet access will affect them, both as customers and as providers. And for all the apparent complexity, the major issues are straightforward. Those reading recent headlines might be surprised to learn just how much agreement there is today on two fundamental points: the Internet fosters innovation and investment in new business opportunities because it's an open platform, and the network operators who build onramps to the Internet thrive when they maximize the returns on their invested capital.
The Federal Communications Commission (FCC), when proposing network neutrality rules last year, emphasized both dimensions. It offered a pragmatic framework that would put the United States in line with Great Britain, Canada, Japan, and other countries that have considered the issue. It proposed a set of basic principles — no blocking or degradation of traffic or devices, no discriminatory favoritism of affiliated services, and transparency — enforced through a case-by-case process that took into account the need for reasonable network management and the legitimacy of private "managed services" alongside the public Internet.
It's not hard to see why business should favor such a regime. Venture capitalists seeking the next YouTube or Twitter want assurance that a broadband access provider won't throttle the new application to advantage its own affiliates, and those broadband providers want certainty that they can use good engineering practices to manage their networks. The FCC's proposals were designed to foster clarity on both sides.
So, where is the controversy? The problem lies with those who see a religious conflict about whether the Internet will be "discriminatory" or "regulated." The simple truth is that it will be a little of both. We regulate the financial system, health care, electricity, and every other essential infrastructure for a modern economy. Pharmaceutical companies don't put drugs into the marketplace without FDA review of clinical trials, and startups don't launch IPOs without SEC registration. The success of those regimes is a big reason for America's global economic strength.
The FCC and other regulators can do a better or a worse job. It's certainly fair to talk about how to optimize the regulatory process. And it's appropriate to call for regulators like FCC Chairman Genachowski, a former venture capitalist and e-commerce executive, who appreciate the dangers of government over-reach.
It's not appropriate to disregard what the FCC actually said. Robert Litan and Hal Singer, for example, should feel reassured by the FCC's language on the concern they raise about "enhanced services" with special traffic handling: "We recognize that these managed or specialized services may differ from broadband Internet access services in ways that recommend a different policy approach, and it may be inappropriate to apply the rules proposed here to managed or specialized services." (Open Internet NPRM, paragraph 149).
This leaves plenty of important details to address. Can Sony's packets be prioritized without degrading the Internet experience for everyone else? Would Zynga have pioneered a multi-billion dollar social gaming market if it had to pay for priority delivery from day 1 to compete with Sony? What if Sony's agreement blocks Microsoft from receiving priority delivery for its competing online gaming portal? Should AT&T's prioritization of its own online gaming portal be viewed differently? Should the same rules apply to wireless broadband? How would enforcement work?
These are not new issues. There has been continuous debate at the FCC about network neutrality for six years. The absence of a comprehensive legal framework exerts a drag on the market. And with no enforceable rules, companies from Facebook to Foursquare have no confidence that discriminatory practices won't undermine their investments. Fortunately, over time, even as the rhetoric has ratcheted up, advocates on both sides have narrowed their differences substantially.
Verizon and Google have now issued a proposal that offers compromise solutions to the major disputed elements of a network neutrality regime. It's a flawed proposal, but it's a step in the right direction if it helps to break the logjam in Washington. Businesses can help achieve that result by supporting a solution that is workable in practice for the long run. For example, if the current wireless broadband market is too immature and different for the same rules to apply, what are the triggers for that to change?
The most valuable area where business can contribute is to support giving the FCC and other agencies the flexibility they need. A recent appeals court ruling called into question the FCC's legal authority over broadband access, opening the door to more years of lawsuits and Congressional lobbying. Such prolonged uncertainty benefits no one.
The FCC was established in 1934 because in complex, fast-changing industries, a body with expertise and open, transparent decision-making processes is the best forum to resolve contentious issues. That's still true. Chairman Genachowski has already proposed to "forbear" preemptively from FCC regulation of Internet content or business practices, outside the limited open Internet rules needed to promote competition and innovation.
The FCC should have the tools to do its job, now and as the marketplace evolves. Network neutrality is just one aspect of a vibrant environment of open, interconnected networks. One would hope that the 2008 financial crisis put to rest the spurious notion that business functions best when regulation functions least.
An open Internet is one in which investment is rewarded and the best innovations win. What could be more pro-business than that?
Kevin Werbach is an Associate Professor of Legal Studies at the Wharton School, University of Pennsylvania, and organizer of the Supernova technology conference. He served until recently as a consultant to both the Federal Communications Commission and National Telecommunications and Information Administration. (source: http://blogs.hbr.org )
Labels: Good for Business, Network Neutrality
July 19 2011
Labels: 4G, LTE Era, SON Networks
Sebuah studi yang dilakukan oleh Konsultan OVUM menunjukkan bahwa di tingkat Entry Level Broadband seperti di India, Rusia, Pakistan, Afrika Selatan dan Saudi Arabia, biaya transmisi data 100 MB melalui WiMAX hanyalah 1/100 sampai 1/10 dari biaya transmisi data melalui jaringan 3G GSM HSPA. Silahkan melihat tabel dibawah ini:
Peningkatan kebutuhan layanan data dipicu oleh penetrasi berbagai jenis perangkat mobile dengan beberapa pengembangan terhadap sistem operasi baru yang menggunakan interkoneksi internet. Meningkatnya kebutuhan akan layanan data ini sudah tidak lagi dapat ditampung oleh sarana telekomunikasi data dengan teknologi seluler generasi ke-3 atau 3G.
Menurut Director & Country Manager Qualcom Indonesia Harry K Nugraha, LTE merupakan solusi perkembangan layanan data baik untuk CDMA maupun GSM sebagai evolusi teknologi seluler Generasi ke-3 (3G) ke generasi ke-4 (4G).
Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementrian Kominfo Gatot S. Dewabroto kebijakan mengenai implementasi LTE belum diputuskan, meskipun sudah ada beberapa operator telekomunikasi yang sudah melakukan ujicoba. Sampai sekarang masih dibahas dan kajiannya belum diputuskan. Kementerian Kominfo tidak akan membatasi ujicoba LTE oleh operator, selama tidak digunakan untuk layanan komersiil.
Berita tersebut diatas dikutip dari Harian Bisnis Indonesia terbitan Jumat, 8 April 2011. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah kelanjutan dari penggelaran jaringan Wireless Broadband Access WiMAX sudah ditetapkan pada pita frekwensi 2,3 GHz, sebab belum terdengar layanan jasa komunikasi broadband wireless access untuk masyarakat umum, dimana sasaran semula BWA yang diharapkan dapat menjadi andalan kebangkitan Industri Manufaktur Nasional menjadi tidak terlaksana, karena standar yang ditetapkan menghasilkan produk yang tidak kompetitif di pasar dalam negeri.
Pengalaman keterlambatan/kegagalan penggelaran jaringan BWA perlu menjadi pelajaran yang berharga untuk merancang masa depan jaringan BWA/LTE. Apakah BWA/WiMAX akan tetap dilanjutkan ataukah akan diganti dengan BWA/LTE? Dapatkah LTE menjadi andalan kebangkitan Industri Manufaktur Nasional seperti yang diharapkan dari WiMAX?
Perbedaan utama antara keduanya, adalah, WiMAX merupakan produk bukan propritary, sedangkan LTE adalah produk proprietary, sehinggan Indonesia harus membayar lisensi/paten produk ini. Ini akan mengurangi manfaat pengembangan Industri Manufaktur DN yang berbasi LTE.
Silahka diberikan tanggapan atau saran-saran yang positif.
Program Broadband Wireless Access (BWA) adalah sebuah program pembangunan TIK Indonesia yang cukup baik, namun pelaksanaannya setelah lebih dari 3-tahun belum terlihat hasilnya yang nyata dalam mendukung Broadband Economy, yaitu kemajuan perekonomian nasional sebagai hasil dari penetrasi jaringan Broadband Wireless Access (BWA) di Indonesia.
Labels: Kelanjutan Program BWA
Jakarta, Jumat 7 Januari 2011 - Menkominfo Tifatul Sembiring melantik sembilan pejabat eselon I Kominfo. Pelantikan pejabat baru ini sekaligus menandai restrukturisasi seluruh direktorat yang ada di kantor kementerian.
Dari sembilan pejabat eselon I tersebut, hanya dua yang masih menempati posisi sebelumnya, yakni Basuki Yusuf Iskandar yang sebelumnya juga sebagai Sekjen Kominfo dan Agung Widjayadi yang kembali dipercaya menjadi inspektorat Jenderal Kominfo.
Sementara Syukri Batubara yang sebelumnya sebagai Sekditjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi dilantik menjadi Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika.
Kemudian, Aswin Sasongko yang sebelumnya Dirjen Aplikasi dan Telematika, kini dilantik menjadi Dirjen Aplikasi Informatika. Sedangkan Kepala Badan Informasi Publik Freddy H Tulung berganti jabatan menjadi Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik.
Untuk Kepala Litbang, posisi itu dipercayakan kepada Aizirman Djusan yang sebelumnya menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Kementerian.
Selain Dirjen, Tifatul juga melantik tiga staf ahli yaitu Suprawoto sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya dan Henry Subiakto sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Media Massa.
Sedangkan Cahyana Ahmadjayadi yang sebelumnya sebagai Kepala Litbang dilantik menjadi Staf Ahli Menteri Bidang Politik dan Keamanan.
Menurut Tifatul, rencana restrukturisasi ini telah direncanakan sejak lama sebelum dirinya ditunjuk menjadi Menkominfo. Rencana restrukturisasi ini telah dicanangkan sejak era Mohammad Nuh.
"Saya mengharapkan pelantikan ini akan menjadi driving forces di dalam Kominfo karena perubahan itu sebuah keniscayaan. Tidak bisa hanya dilakukan secara business as usual, tetapi harus lebih dari itu," ujarnya di kantor Kominfo, Jumat (7/1/2011).
Kementerian Kominfo mengubah struktur organisasinya yang mulai berlaku awal tahun ini, dengan merombak beberapa Direktorat Jenderal. Perubahan struktur organisasi tersebut berdasarkan Peraturan Menkominfo No. 17/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kominfo.
Dengan perombakan tersebut, tujuh Direktorat Jenderal seperti saat ini masih tetap ada, hanya saja terdapat perubahan nama Ditjen.
Dengan perubahan itu maka struktur baru itu adalah Sekretaris Jenderal, Irjen, Ditjen Sumberdaya dan Perangkat Pos dan Informatika, Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Ditjen Aplikasi Informatika, Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik dan Badan Litbang SDM.
Adapun struktur lama dari Kementerian Kominfo yang masih berlaku saat ini terdiri dari Sekjen, Irjen, Ditjen Pos dan Telekomunikasi, Ditjen Aplikasi Telematika, Ditjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi, Badan Informasi Publik dan Badan Litbang SDM.
Sementara, Muhammad Budi Setiawan yang sebelumnya menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Postel belum dilantik menjadi Dirjen Sumberdaya dan Perangkat Pos dan Informatika. Masih sebagai Plt juga.
"Pak Budi belum dilantik karena belum memenuhi persyaratan untuk menjadi Dirjen karena masih ada masalah teknis golongan jabatan. Masih harus sekolah pimpinan dulu. Tidak lama kok," kata Tifatul.
(sumber: rou/ash - detik.com)
No. | Jabatan | Nama | Jabatan Sebelumnya |
1. | Sekretaris Jenderal | Dr. Ir. Basuki YusufIskandar, MA | Sekretaris Jenderal |
2. | Inspektur Jenderal | Agung Widjayadi, SIP, MM. | In spektur Jenderal |
3. | Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika | Drs. Syukri Batubara, MH. | Sekretaris Ditjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi |
4. | Direktur Jenderal Aplikasi Informatika | Dr. Ir. Ashwin Sasongko, MSc | Direktur Jenderal Aplikasi Telematika |
5. | Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik | Drs. Freddy H. Tulung, MUA | Kepala Badan Informasi Publik |
6. | Kepala Badan Litbang SDM | Aizirman Djusan, MSc, Econ | Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Kemitraan |
7. | Staf Ahli Menteri Bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya | Dr. Suprawoto, SH, M.Si. | Staf Ahli Menteri Bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarakat |
8. | Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Media Massa | Drs. Henry Subiakto, SH. MA. | Staf Ahli Menteri Bidang Media Massa |
9. | Staf Ahli Menteri Bidang Politik dan Keamanan | Dr. Ir. Cahyana Ahmadjayadi | Kepala Balitbang SDM |