MP3 Clips

Sunday, May 9, 2010

Spesifikasi TD-LTE rancangan RRC telah disampaikan ke ITU sebagai salah satu varian dari teknologi 4G LTE Global mempunyai kesempatan tinggi untuk disetujui dalam sidang Plenipot bulan Oktober 2010 yang akan datang. Saingan varian teknologi 4G LTE yang telah mendapat persetujuan ITU lebih awal adalah FDD-LTE (Frequency Division Duplex LTE). Para pakar memperkirakan bahwa usulan rancangan dari para ahli dari Cina ini akan disetujui pada sidang tersebut diatas, sebab kedua varian LTE ini masih pada tahap awal pengembangannya dan keduanya didukung oleh Proyek 3GPP (3G Partnership Program).

Selain dari pada itu teknologi TD-LTE ini mendapat dukungan penuh dari Pemerintah RRC dan para operator seluler Cina yang mempunyai jumlah pelanggan seluler terbesar didunia. Berita sebelumnya dari Jepang menyatakan pula bahwa operator seluler Softbank akan mengadopsi teknologi TD-LTE dari Cina pada pita frekwensi 2,5 GHz yang mereka peroleh dari alokasi pita frekwensi layanan PHS Willcom yang telah gagal dan dibeli oleh Softbank.

Para ahli memperkirakan bahwa teknologi TD-LTE buatan Cina ini akan lebih sukses dibandingkan dengan teknologi wireless yang diusulkan Cina sebelumnya, yaitu teknologi TD-SCDMA yang belum matang karena masih memiliki berbagai persoalan teknis, variasi devices yang terbatas, dan tertinggal 5-tahun dari teknologi saingannya, yaitu WCDMA yang telah dipakai oleh banyak operator seluler Eropa.

Alasan utama Pemerintah Cina untuk memiliki teknologi Wireless buatan sendiri adalah karena untuk menghemat biaya lisensi teknologi bilamana menggunakan teknologi milik asing, serta besarnya penghematan biaya yang akan mereka peroleh ditilik dari besarnya jumlah pelanggan domestik seluler di Cina yang merupakan jumlah yang terbesar didunia.

Referensi berita: "'TD' is not about technology, it is about money, money and money."

China's TD-LTE standard is unlikely to face the same obstacles that plagued the country's earlier mobile wireless standard, TD-SCDMA, industry analysts say.

China in October submitted TD-LTE specifications to the International Telecommunication Union (ITU) for approval as a 4G standard. If ratified, it will be officially recognized by the ITU as a 4G technology in October 2010, according to reports.

While the country's 3G predecessor, TD-SCDMA, got off to a bumpy start, dogged by technical issues and a lack of device variety, industry watchers are expecting TD-LTE to fare better.

Julian Bright, Informa telecoms and media analyst told ZDNet Asia that TD-LTE, as a variant of FDD-LTE (Frequency Division Duplex LTE), is technically similar to the global LTE standard meant for markets where TDD spectrum is more readily available. As such, "strictly speaking, TD-LTE is not a new 4G standard", he said.

In comparison, TD-SCDMA was developed largely for the domestic market, he noted. Apart from the technical problems and delays, this standard has also been slow to gain traction among vendors outside China, Bright said in an e-mail.

TD-LTE, on the other hand, is "an international standard [with the] full backing of the 3GPP (3G Partnership Project)", catering to markets that have limited TDD spectrum and putting it on pace with FDD-LTE in terms of standards development activities. "Both versions of LTE are expected to reach standardization in parallel," he said.

Ted Dean, president and managing director of China-based IT advisory firm, BDA, said in a phone interview that TD-LTE and FDD-LTE are both in early stages of development, giving the two standards more equal footing.

In addition, TD-SCDMA was "working out bugs that [competing standard] WCDMA had already worked out five years before", he explained.

While some had said during the launch of TD-SCDMA that the sheer size of China's mobile market is sufficient for a standard to flourish, Dean noted that device and consumer support were more important, compared to the size of the country.

"China's a big market, but so is Europe, and so on... Government support is not the be-all. Technology is driven by what consumers choose," he said.

Using TD-SCDMA as an example, he said its lack of success in China has been a result of consumers flocking to devices on the more mature WCDMA standard.

"WCDMA has been in the market for years. The tech ecosystem has had years to flourish," Dean said. "There is a WCDMA iPhone, but no TD-SCDMA iPhone."

TD-LTE, on the other hand, has garnered support from operators such as Verizon Wireless and Vodafone, giving it a more "international start" compared to its predecessor, he said.

Money, money, money
John Strand, CEO of Strand Consult, sees TD-LTE as merely an economical decision.

China's impetus to support its own standard stems from a desire to stimulate the Chinese telecoms market and to limit the royalty payments to international patent holders such as the Nokias, Ericssons and Qualcomms, Strand noted in an e-mail interview.

Chinese support of its own mobile wireless standards will also limit the success of foreign competitors in the country, he said. "We do not believe that the 'TD' solutions have any chance in markets not controlled by China," he added.

Informa's Bright said he expects TD-SCDMA to emerge as China's leading 3.5G+ technology by end-2014. He attributed this to the country's largest mobile carrier, China Mobile's large 2G subscription base, which is assumed to upgrade to 3.5G eventually, and the strong government support given to TD-SCDMA.

Strand said: "Simply put, 'TD' is not about technology, it is about money, money and money."

The ITU could not be reached by press time.

(sumber: zdnetasia.com "China's TD-LTE better chance of success")

Japanese cellco Softbank Mobile is considering deploying the Chinese-developed TD-LTE standard as a 4G network.
Senior executive vice president Ted Matsumoto told telecomasia.net the company could deploy it in the 2.5GHz spectrum it gained access to when it bought a stake in failing PHS operator Willcom last month.
But he said Willcom’s next-gen PHS technology, XGP, and mobile Wimax were also under consideration.
“We’re going to have 2.5GHz TDD spectrum, so we will seriously explore TD-LTE,” he said.
The XGP technology was “very much like TD, or at least is compatible with TD-LTE.”
Softbank is also focused on winning access to the key 700MHz or 900MHz frequencies, the “golden spectrum” with a much higher propagation range already that is used by both of its competitors.
“We’re fighting the handicap game [without those frequencies],” Matsumoto said. “There’s no 100% assurance, but we definitely will seek a 700/900MHz license.”
Japan’s Ministry of Internal Affairs & Communications plans to allocate 40MHz of spectrum in the 700/900MHz ranges for LTE and is now conducting a review.
For the time being, Softbank has put LTE plans on the backburner in favor of HSPA+.
It shut down its 2G network last month and is looking to reap the cost benefits of running a single 3G/3.5G network with up to 42Mbps download speeds.
(Source: telecomasia.net - Robert Clark)

Sunday, May 2, 2010

JAKARTA: Regulator akhirnya memutuskan untuk melakukan tender ulang pada tujuh zona broadband wireless access (BWA/WiMax).

Tender ulang dilakukan untuk mengisi kekosongan satu blok frekuensi sebesar 15MHz yang ditinggalkan oleh tiga pemenang sebelumnya akibat gagal bayar.

Plt Dirjen Postel Kementerian Kominfo Budi Setiawan mengatakan regulasi mendukung iklim kompetisi penyelenggaraan telekomunikasi termasuk WiMax. Pada kasus ini jika ada pencabutan izin maka pemerintah dapat melakukan seleksi ulang.

"Kami akan melakukan tender baru dalam waktu dekat sebagai proses seleksi ulang untuk mendapatkan pemenang WiMax baru," ujarnya kepada Bisnis, pekan lalu.

Dia menjelaskan saat ini ada tiga pemenang seleksi BWA 2,3GHz (WiMax) yang belum melunasi pembayaran biaya hak penyelenggaraan (BHP) spektrum frekuensi radio dan up front fee. Terhadap pemenang ini rencananya dikenakan sanksi pencabutan izin, saat ini sedang dalam proses.

Pencabutan izin mereka dipastikan tidak akan berpengaruh pada pembangunan infrastruktur WiMax yang dilakukan oleh para pemenang lainnya, termasuk pada zona yang sama dengan ketiga pemenang tersebut.

Ketiga pemenang yang dicabut izinnya adalah PT Internux, Konsorsium PT Comtronics System dan PT Asiwarta Perdania, dan Konsorsium Wimax Indonesia.

Tender BWA 2,3GHz mengalokasikan frekuensi dua blok sebesar 30MHz untuk dua pemenang, masing-masing 15MHz. Pemerintah menyelenggarakan tender ini untuk mewujudkan Internet murah ke seluruh nusantara dan mengembangkan industri dalam negeri melalui kewajiban tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) pada perangkat teknologi WiMax 16d.

Tender yang dilaksanakan pertengahan tahun lalu memberikan harga penawaran (reserved price) sebesar Rp50 miliar dengan potensi pendapatan total bagi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp892,80 miliar, sebanyak Rp458,41 miliar dari pembayaran up front fee dan Rp434,39 BHP tahun pertama.

Sementara itu, Konsorsium Wimax Indonesia menyatakan tidak akan melepaskan kemenangannya pada tiga zona dalam tender BWA ini, yaitu Kepulauan Riau, Maluku dan Maluku Utara, serta Papua.

KWI bertahan

Koordinator Konsorsium Wimax Indonesia Roy Rahajasa Yamin mengatakan pihaknya sedang mengumpulkan para anggota konsorsium dan tidak ada niat sama sekali untuk menghindari kewajiban pembayaran.

"Kami malah belum tahu akan dicabut izin, memang diperlukan waktu lebih lama untuk mengumpulkan dana karena sebagian anggota konsorsium ada di luar kota [Jakarta]," ujarnya saat dihubungi Bisnis secara terpisah.

Kepala Humas dan Informasi Kementerian Kominfo Gatot S. Dewa Broto menilai tindakan tersebut terlambat karena regulator selama ini sudah memberikan tenggat waktu pembayaran cukup lama, termasuk masa peringatan.

"Kewajiban pembayaran bagi konsorsium sejak pemberian izin prinsip lebih lama dibandingkan dengan pemenang perusahaan tunggal karena adanya toleransi mengurus perizinan pembentukan konsorsium," ujarnya.

Konsorsium baru diwajibkan melakukan pembayaran 26 Januari lalu, namun hingga peringatan ketiga mereka tidak juga melaksanakan kewajibannya, sudah terlambat. Berbeda dengan Konsorsium Wimax Indonesia, Konsorsium PT Comtronics System dan PT Asiwarta Perdania menyatakan pengunduran dirinya sebelum keluarnya surat peringatan ketiga.

Pendapatan pemerintah dari proyek BWA ini berpotensi turun 33,68% dengan dicabutnya Internux dan mundurnya Contronics. Besarnya presentasi tersebut belum termasuk dari kewajiban milik Konsorsium Wimax Indonesia.

Sebelumnya pemerintah memberikan waktu hingga pertengahan tahun ini dan menawarkan kesempatan bagi operator pemenang lisensi WiMax yang sudah siap menggelar WiMax berstandar 16.d di semester ke-2 2010.

Kementerian Kominfo juga telah membahas kemungkinan pemberian sanksi hukum menyusul pengunduran diri PT Comtronics Systems dari konsorsium WiMax berstandar nomadic 16.d.

Menurut Gatot, pemerintah sebetulnya masih akan melihat dari berbagai aspek dalam memutuskan kelanjutan penggelaran teknologi BWA ini.

"Kami menghargai hak mereka yang menyatakan tidak nyaman lagi dengan standar WiMax 16.d," ujarnya kepada Bisnis.

PT Internux-yang rencananya menggelar di zona Jabodetabek-tidak mematuhi ketentuan dan komitmen Rp220 miliar kepada negara meski telah mengangsur kewajiban pembayaran biaya izin awal (up front fee) dan biaya izin pita spektrum frekuensi radio sekitar 10% setelah melewati batas waktu.

PT Comtronics Systems merupakan perusahaan yang membentuk konsorsium dengan PT Adiwarta Perdania yang memegang area Jabar kecuali Bogor, Depok dan Bekasi, Jateng, Jatim dengan kewajiban up front fee Rp66 miliar. (fita.indah@bisnis.co.id/roni.yunianto@bisnis.co.id)

;;